Lihat ke Halaman Asli

Gunung Sangiang: Potensi yang Tersembunyi Antara Mitos dan Realita

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14005249572135440547

[caption id="attachment_337068" align="aligncenter" width="300" caption="Gunung Sangiang menyimpan Sejuta Pesona"][/caption]

Gunung Sangiang adalah Gunung yang memiliki banyak Versi dan Mitos, baik tentang asal muasal, catatan sejarah hingga culture asal warga disana. Sebab hingga saat ini Warga gunung Sangiang tidak pernah mengakui dirinya sebagai Orang Wera yang berada diseberang pulau itu, demikian juga dengan warga Sangiang Darat yang ditinggal didaratan Wera juga sepenuhnya cenderung menganggap diri bukan sebagai orang Wera. Mereka lebih memilih diri mereka sendiri sebagai Warga Sangiang Pulau seperti keberadaan Suku Bajo disaentero nusantara.

Gunung Sangiang terletak disebelah Utara Kabupaten Bima, ujung timur Pulau Sumbawa Propinsi NTB. Tidak banyak orang yang ke Gunung Sangiang selain warga Sangiang sendiri dan beberapa kelompok masyarakat pemancing ikan dan pemburu rusa atau menjangan. Gunung Sangiang secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Gunung ini berjarak sekitar 10 mil atau 25 km dari Wera sebagai daratan pulau Sumbawa.

Gunung Sangiang adalah salah satu gunung Api aktif di Indonesia, dalam catatan PVMBG (Badan Vulaknologi dan Mitigasi Bencana Geologi), Gunung Sangiang berstatus waspada. Status tersebut dikeluarkan sejak Oktober 2009 hingga saat ini dan belum berubah menjadi Normal. Namun masyarakat lereng Sangiang mengaggap hal itu biasa dan tak dikhawatirkan sebab mereka (Warga gunung Sangiang) punya cara tersendiri secara turun temurun dalam memastikan apakah gunung tersebut akan menyemburkan magma (meletus) atau tidak.

Dalam Rangka Dies Natalis Komunitas BABUJU ke 5, Civitas BABUJU mengadakan kegiatanChamping di lereng gunung Sangiang pada 17 – 18 Mei 2014. Berikut catatan potensi hasil dari eksplor kisah bertutur dari bibir pantai Sangiang dipagi hari bersama Ompu Reho (Ompu adalah panggilan orang tua yang sudah berumur) dan Ayang Syaifullah sebagai keturunan warga pulau Sangiang dihadapan civitas Komunitas BABUJU.

SEJARAH

Tidak ada yang tahu, sejak kapan warga mendiami Gunung Sangiang, tetapi berdasarkan cerita dari para orang tua, bahwa masyarakat tinggal di Sangiang sudah sejak jaman Ncuhi(jaman sebelum Kerajaan dikenal di Bima). Konon, warga Sangiang memiliki keterkaitan darah antara Warga Palue dilereng Gunung Rokatenda – Flores NTT. Warga Paluemenyebut dirinya sebagai Attapalue sedangkan orang Sangiang menyebut diri mereka sebagai Attasangia. Diakui pula hingga hari ini, bahwa warga Palue yang hidup dilereng dan punggung gunung Rokatenda adalah asli Attasangia (Baca: orang Sangiang). Mereka ke Palue karena menolak memeluk ajaran Agama Islam, akibat syarat untuk masuk Islam adalah harus disunat (memotong kulit depan kelamin lelaki).

Kepala Suku di Sangiang tidak menyebut diri mereka sebagai NcuhiGalarang atauPunggawa, namun gelaran Dallu. Di Manggarai, Dallu adalah Kepala suku seperti halnya di Bima disebut Ncuhi. Ketika masa Kerajaan maupun Kesultanan, Ncuhi berubah menjadiJeneli atau Punggawa dan pada masa Swatrantra maupun Swapraja (setelah Kemerdekaan NKRI) mulailah disebut sebagai Gelarang dan kini Kades atau Lurah. Tetapi di Pulau Sangiang, kepala Suku sejak warga Attasangia menempati Pulau Sangiang hingga saat ini tetap menyebut Dallu sebagai Pemimpin Kelompok masyarakat.

Dallu terakhir adalah Dallu H. Jamaluddin atau dikenal dengan ‘Abu Wadi’, yang memimpin warga Sangiang sejak tahun 50an, sebelum itu dipimpin oleh ‘Dallu Abu Jao’, dengan perkiraan menjadi Dallu Sangiang sejak awal abad ke 19 atau tahun 1900an awal. Nisan kuburan ‘Dallu Abu Jao’ masih ada hingga saat ini, meski sudah dikelilingi oleh semak belukar. Dan Uma Dallu (Rumah Tua) juga masih berdiri kokoh. Uma Dallu diperkirakan berumur 500an tahun, sebab, konon, ‘Dallu Abu Wadi’ maupun ‘Dallu Abu Jao’ (Bapak dari Abu Wadi) tinggal disitu secara turun temurun siapapun yang menjadi DalluUma Dallusecara turun temurun menjadi rumah kepala Suku, istilah sekarang adalah rumah dinas. Konon, di Uma Dallu yang masih berdiri kokoh ini, La Kai (Sultan Abdul Kahir), Sultan Pertama Bima, pernah tinggal beberapa tahun saat dikejar oleh Salisi (pamannya sendiri) saat akan menuju Kesultanan Gowa sekitar tahun 1610. Prasasti yang membuktikan bahwa La Kai pernah tinggal di Uma Dallu itu adalah Wadu Kahampa (Batu Kesepakatan), yang beberapa tahun lalu sempat bersengkata dan dibuang ke laut oleh seorang Ustadz yang menganggap itu sirik dan Bupati Bima (alm) ferry Zulkarnaen, harus turun tangan menangani sengketa tersebut.

Warga Pulau Sangiang juga yakin bahwa sebelum Datuk Dibanta maupun Datuk Ditiro (Syekh Pembawa Islam di Bima) menginjakkan kakinya di Bima, terlebih dahulu datang “Tujuh Wali” atau dikenal dengan “Wali Pidu” di Sulawesi juga sempat ada cerita tentang “Wali Pitu” demikian juga di Manggarai. Dua diantaranya meningga di Pulau Sangiang. Salah satu dari dua Wali yang dikubur di Pulau Sangiang bernama Syiekh Syamsuri. Kuburannya ada di punggung Gunung Sangiang dan masih bisa dijumpai. Diakui pula oleh 2 orang Juru Kunci Sangiang, Abu La Ebe (65thn) dan Pua Juwaidin (40thn). Kuburan kedua Syiekh tersebut menjadi legenda bagi banyak orang, tetapi bagi banyak warga Pulau Sangiang itu ada dan nyata. Kuburan itu terletak dipunggung gunung, dapat ditempuh dengan mendaki sekitar 5 jam perjalanan. Berada dibawah rimbunan 2 pohon besar dan rindang. Anehnya, kuburan tersebut selalu bersih dan tidak pernah dijatuhi oleh dedaunan apapun termasuk ditumbuhi oleh semak-semak. Warga pulau sangiang sering berziarah di 2 kuburan tersebut.

POTENSI

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline