Terdapat pergeseran pemaknaan yang sangat besar atas identitas 'Indo' atau keturunan berdarah campuran dalam masyarakat kita. Tidak hanya sebagai identitas malang yang terhimpit dua golongan berseberangan, awalnya Indo juga menjadi entitas yang tertolak, baik oleh pihak Eropa (barat) totok maupun pihak pribumi.
***
Pada kurun waktu belakangan ini kita terbiasa melihat sosok berdarah campuran, atau kerap disebut Indo, di layar televisi. Wajah tampan, bentuk tubuh yang proporsional, kulit putih, hingga hidung mancung, menjadi daya tarik sekaligus modal utama mereka. Gayung bersambut: pasar dunia entertainment kita menggandrungi. Identitas ke'Indo'an mereka menjadi sesuatu yang sangat bernilai.
Tidak hanya bernilai dalam konteks dunia entertainment saja, identitas Indo juga menjadi modal untuk mudah memikat lawan jenis. Memiliki pasangan 'Indo' atau 'keturunan' pada saat ini menjadi satu bentuk gaya hidup. Selain wajah yang memanjakan mata, seorang Indo memiliki keterkaitan langsung dalam darahnya dengan dunia barat.
Dunia yang dipersepsi sebagai lambang beradab dan kemajuan. Maka, memakai perspektif Pierre Bourdieu, bersanding dengan seorang Indo-keturunan menjadi modal simbolik tersendiri. Demikian kesimpulan yang dapat dihasilkan, setidaknya oleh penulis, jika melihat fenomena tersebut melalui perspektif kritis.
Beberapa contoh populer dapat kita ketengahkan sebagai pasangan Indo dan pribumi. Penyanyi cantik Raisa dengan Hamish Daud, artis berdarah campuran Madura-Australia, misalnya. Ada juga artis Jessica Iskandar yang menikah dengan Vincent Verhaag, laki-laki keturunan Indonesia-Belanda, setelah sebelumnya juga menjalin hubungan dengan Richard Kyle, artis keturunan Indonesia-Australia.
Jika kita menoleh ke masa lalu, justru ditemukan fakta sebaliknya. Seorang berdarah campuran atau Indo pernah berada pada situasi yang tidak menguntungkan. Bahkan bernasib malang. Tepatnya ketika zaman kolonial Hindia-Belanda. Saat ini Indo secara tidak langsung berasosiasi dengan prestis dan gaya hidup urban. Tidak demikian pada zaman kolonial Hindia-Belanda.
Pada masa Hindia-Belanda, identitas Indo lahir dari pasangan laki-laki Belanda atau Eropa dan perempuan pribumi. Sebagian besar perempuan tersebut berstatus sebagai gundik, dan biasa disebut Nyai. Anak-anak Indo yang lahir dari pasangan campuran tersebut mengalami kesulitan untuk berasimilasi dengan kaum Eropa totok karena dianggap tidak sederajat.
Di sisi yang lain, mereka juga sulit untuk menyatu dengan kaum pribumi sebab dianggap berbeda. Bahkan pada beberapa kasus si Indo sendiri yang merasa terlalu tinggi derajatnya ketika harus membaur dengan kaum ibunya itu.
Bagi kaum bapaknya, Eropa totok, si Indo merupakan 'sang liyan' (the other). Pada kesempatan yang sama, ia juga mendaku sebagai 'sang diri' di hadapan kaum ibunya yang pribumi, sekaligus menganggap mereka sebagai 'sang liyan' (the other). Maka, konsekuensi yang harus diterima adalah mereka sulit menyatu dengan pihak mana pun.
Lahir dari praktik pergundikan membuat nasib mereka semakin tragis. Banyak dari mereka yang telantar karena tidak diakui oleh bapak dan ibunya. Anak-anak Indo yang telantar ini banyak diselamatkan oleh Pastor Van der Grinten dan ditampung di rumah penampungan khusus anak-anak blasteran miliknya.