Lihat ke Halaman Asli

Membangun Petani Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

[caption id="attachment_234789" align="alignright" width="285" caption="Acara seremonial seperti ini lebih untuk kepentingan politik ?"][/caption] Sektor pertanian msestinya menjadi sektor yang menguntungkan secara ekonomi mengingat demand produksi pertanian tak pernah akan habis karena merupakan bahan kebutuhan dasar manusia. Namun nayatanya, komoditas yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia itu, ternyata bukan merupakan sumber kesejahteraan bagi petani. Petani justru semakin miskin dan termarginalkan dalam proses pembangunan negeri ini. Kebijakan pertanian dalam pemerintahan Indonesia merdeka yang sudah berusia 65 tahun ini belum mampu mengangkat kehidupan para petani. Sebaliknya kebijakan tidak populer menyangkut perlindungan alam lebih mengedepan karena lebih dirasa dapat mempertebal kocek para penguasa, akibatnya para petani makin merana karena produksi terus menurun. Celakanya lagi, kebijakan subsidy petani seperti nyanyian nina bobo, petani semakin terpuruk karena seringnya terjadi kelangkaan pupuk sebab pembayaran kepada produsen pupuk oleh pemerintah sering seret. Pemerintah saat ini berencana melaksanakan landreform, membagikan  6 juta Ha tanah gratis kepada petani untuk mengangkat kesejahteraan petani. Namun dengan membagikan tanah kepada petani kesejahteraan petani akan terangkat ?.  Mungkin saja dapat untuk mengangkat kesejahteraan petani sesaat, tanahnya dijual kepada pengusaha "petani"  untuk modal menjadi TKI. Ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat petani, memiliki lahan tetapi tidak terolah karena ekosistemnya sudah terganggu yang memerlukan biaya besar untuk merehabilitasinya. Menjadi TKI dipandang lebih menguntungkan dari pada menjadi petani walaupun memiliki lahan sendiri. Problem petani bukan hanya pada kepemilikan lahan tetapi keadaan alam yang sudah semakin rusak itu membutuhkan biaya pengolahan yang semakin mahal  yang tidak terjangkau oleh petani sedangkan hasil produksi harganya anjlog pada waktu panen.  Krisis pangan dunia dan banyaknya kasus kerawanan pangan di Indonesia, seharusnya makin menyadarkan pemerintah, betapa pentingnya produksi pangan bagi ketahanan nasional. Bila pemerintah memandang ketahanan pangan sebagai hal yang penting, seharusnya juga memperlakukan petani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki kedudukan dan peran penting dalam negara. Nyatanya, pemerintah lebih senang melirik pemodal besar karena dari situ dapat langsung diperoleh pemasukan dari perizinan. Komoditas pertanian dan perkebunan memang meningkat tetapi peningkatan itu tidak dirasa oleh para petani, para kapitalis yang lebih pandai dan mengusai akses perdagangannya akhirnya yang menangguk kemakmuran. Pemerintah agaknya memandang pangan sebagai komoditas dagang belaka, pejabatnya ribut jika terjadi penguatan rupiah sebab komoditas eksport itu akan menurun pendapatannya. Karena pandangan yang keliru itu, alhasil kebijakan yang diterapkan juga tidak tepat sasaran. Kebijakan pangan saat ini menempatkan produksi pangan dalam skema industrialisasi yang mengedepankan kapitalisme sebagai ujung tombaknya. Negara pun semakin memperluas kesempatan modal untuk mencari laba tertinggi dan akumulasi modal di sektor pangan.  Pendekatan kapital dalam produksi pangan di sebuah negara agraris semacam Indonesia tentu sangat ironis. Pendekatan ini justru semakin meminggirkan peranan kaum tani yang jumlahnya puluhan juta kepala keluarga.  Sebab, petani yang tidak memiliki modal harus bertarung dalam arena industrialiasi produksi komodi pangan, melawan kekuatan modal yang dimiliki perusahaan-perusahaan besar. Ini jelas kompetisi yang sangat tidak adil.  Petani kalah dalam hal kekuatan modal, efisiensi produksi, kesenjangan pengetahuan, serta tidak menguasai akses menuju pasar komoditi pangan. Pembangunan Jalan ekonomi di Indonesia serta pembangunan sarana transportasi lainnya seperti jalan2 inpres yang dibangun pada masa orde baru sesungguhnya merupakan sebuah konsep intergral dalam pembangunan sektor pertanian rakyat. Namun, petani seolah tidak berdaya menghadapi pemodal besar, yang berkembang justru investasi pemodal besar serta industri pertaniannya. Memang para pemodal ini memberikan lapangan kerja baru tetapi sesungguhnya menyingkirkan para petani lebih banyak lagi. Kalah dalam segala hal, termasuk dalam perlakuan hukum, situasi sering menimbulkan konflik yang berakhir dengan kekerasan. Lagi2 para petani tidak berdaya berhadapan dengan aparat yang berpegang pada hukum.  Situasi seperti ini  akan semakin sering terjadi karena kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada pemodal. Mencita2kan petani Indonesia sejahtera agaknya masih sangat jauh dari harapan karena tanahpun sudah menjadi komoditas dagangan para pemodal besar.  Tapioka contohnya sudah menjadi bahan pokok kebutuhan industri baik industri pangan maupun industri lainnya didunia, permintaan dunia terus meningkat, lagi2 petani tak berkutik karena sektor perdagangannya sudah dikuasai pemodal besar. Namun pemodal itu dapat leluasa masuk juga karena sifat petani kita yang malas, tidak mau mengikuti standart mutu yang disyaratkan, cari gampangnya walaupun akibatnya harga yang diterimanya ditekan sangat murah. Banyak yang harus dibenahi dalam membangun petani Indonesia, bukan hanya membagikan tanah, kebijakan pemerintah serta pengembangan SDM harus selaras, sebuah konsep yang terintergrasi mulai dari produksi sampai aspek pasarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline