Lihat ke Halaman Asli

Randy Davrian

Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional

Kasus CLS FH UGM, Mekanisme Pemberhentian Presiden dan Kemungkinannya

Diperbarui: 1 Juni 2020   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Media sosial sedang ramai mengenai diskusi "Persoalan pemecatan presiden di tengah pandemic ditinjau dari system ketatanegaraan" yang diadakan oleh Constitutional Law Society (CLS) FH UGM yang dianggap gerakan makar. Namun di sisi lain hal tersebut menjadi sebuah pembatasan kebebasan akademik. 

Padahal UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) menjelaskan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat". 

Serta UUD 1945 Pasal 28C ayat (1) yaitu "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia". Apa yang terjadi dari pembatasan diskusi tersebut dinilai bertentangan dengan HAM dan nilai demokrasi.

Diskusi yang dilakukan CLS FH UGM dapat memberi pencerdasan kepada publik bahwa pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden haruslah memenuhi syarat dan ketentuan hukum yang sudah diatur di UUD 1945. 

Syarat pemberhentiaan Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD 1945 Pasal 7A menjelaskan bahwa "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden". 

Jika ditinjau dari UUD 1945 Pasal 7A tersebut hal tersebut dapat terjadi jika Presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran tersebut.

Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945 Pasal 7B dijelaskan yaitu:

  1. Sebelum diajukan ke MPR, Pengajuan permintaan DPR hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR;
  2. DPR mengajukan kepada MK untuk memeriksa mengadili, dan memutuskan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti yang tertera pada UUD 1945 Pasal 7A;
  3. Apabila terbukti bersalah melakukan pelanggaran hukum sepeti yang dijelaskan UUD 1945 Pasal 7A maka DPR melakukan sidang paripura dan meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR;
  4. MPR menyelenggarakan sidang dan memutuskan. Pengambilan keputusan dihadiri oleh sekurang kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Jika ditinjau dari mekanisme yang dijelaskan UUD 1945 Pasal 7B  bahwa DPR memiliki Power yang besar dan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat terjadi jika anggota DPR mengingnkan dan melihat terdapat pelanggaran hukum seperti yang diatur UUD 1945 Pasal 7A untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

Namun kenyataannya Presiden Joko Widodo menguasai dukungan mayoritas partai politik yang duduk di DPR yang mempengaruhi suara anggota DPR. Hal tersebut sulit terjadi untuk dilakukan walaupun dengan tekanan masyarakat sipil jika berkaca seperti yang terjadi pada gerakan Reformasi Dikorupsi yang tidak berhasil untuk merubah suatu kebijakan. Semua ditentukan oleh anggota DPR.

Hal tersebut serupa dengan kasus rencana impeachment Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang gagal karena suara dari Senat Amerika Serikat dari hasil voting yang membebaskan Trump dari impeachment. Dapat diambil kesimpulan bahwa dengan dukungan parlemen yang dimiliki Presiden Joko Widodo sampai saat ini akan sangat sulit terbayangkan untuk terjadinya pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Apa yang terjadi dari turunnya Presiden Soeharto yang salah satunya dipengaruhi gerakan masyarakat sipil bukanlah sebuah bentuk pemberhentian Presiden. Namun Presiden Soeharto menyatakan berhenti. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat dilakukan dengan cara konstitusional dan tidak ada mekanisme kaitannya dengan pengaruh dorongan masyarakat sipil untuk meminta Presiden Soeharto turun yang akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline