(Point-of-view Emily:)
'Aku masuk ke kamarku dengan tubuh lelah dan jantung berdebar-debar. Sekarang apa yang harus kulakukan setelah telanjur memasukkan Earth ke dalam puri ini, walaupun memang tak ada pilihan lain?
Dan kemana Ocean pergi, mengapa belum kembali juga, dan apa yang akan terjadi seandainya nanti ia berada lagi di sini?
Aku bahkan bertambah bingung jika harus memilih satu di antara dua pemuda kembar yang mulai menarik hatiku. Sama-sama berparas rupawan, walau Earth masih sedikit lebih tirus. Sama-sama menarik, walau Earth begitu liar, lugu, polos dan kadang malah kasar menakutkan. Ocean bagaikan seekor kuda putih yang terpelihara dan terawat dengan baik dan nyaris sempurna. Lembut, terpelajar, elegan dan anggun. Sedangkan Earth bagaikan kuda hitam liar, bebas lepas dan menderita selama hidupnya, namun masih begitu rapuh di dalam dan memiliki bahaya laten, bagaikan api dalam sekam yang bisa membesar sewaktu-waktu.
Tak ada pilihan lain, selain mengikuti permainan yang telah berjalan. Dan hari ulang tahun mereka juga semakin dekat. Kira-kira apa yang akan terjadi dan betulkah Earth masih mungkin melakukan sesuatu terhadap kedua saudara kandungnya?
Dan kali ini juga aku mulai merasakan apa yang selama ini kupendam-pendam saja dalam hati dan pikiranku. Aku gadis alim yang tak pernah mengenal pemuda manapun selama dua puluh tahun. Sekarang diam-diam aku merasa selubung kealimanku terbuka bagaikan kuntum bunga mawar merekah menunggu lebah.
Pertama kecupan Ocean. Manis seperti madu. Lembut bagaikan beludru. Lalu ciuman dan sentuhan Earth. Kasar dan penuh racun mematikan. Aku menyukai Ocean. Ia bagaikan piala bersinar yang siap untuk dimenangkan. Sedangkan Earth, menarikku bagaikan pusaran air atau lubang hitam mematikan, menyesatkan dan tak ada yang dapat kulakukan setelah terhisap masuk kedalamnya.
Menolak yang satu berarti menyakitkan hati yang lain dan aku yakin, tak akan ada akhir yang bahagia...
Dan aku juga sekarang turut berubah liar. Kuhempaskan diriku yang begitu lelah dan mengantuk di atas ranjang, setelah kulepaskan semua yang melekat pada tubuhku. Entah mengapa, tubuhku merasa lega sekali saat melakukan semua itu. Tak ada lagi yang namanya tabu maupun malu. Sebab keinginan mendasar itu memang tak hanya dimiliki pria saja, melainkan juga wanita seperti aku.
Membayangkan tangan dan jari-jemari Earth yang kasar tak terpelihara mencekam keseluruhanku. Mengimajinasikan kedua mata birunya menelusuri lekuk dan semua sisi kontras pada kulit tubuh halusku membuatku begitu malu sekaligus begitu rapuh mengakui bahwa aku menikmatinya.