(bagian tiga, tamat)
"Oh, halo, sebenarnya 'sih boleh-boleh saja, Joy, tapi..."
Suara Si Tampan yang kedengaran dalam dan empuk di telinga itu memberi gantungan tak mengenakkan bagiku, membuatku deg-deg-an setengah hidup.
"Mengapa tidak dengan papa saya saja, Joy? 'Kan besok kamu ada jadwal kursus dengan papa. Bisa 'kan?"
"Oh, baiklah jika begitu, Koko Drew. Terima kasih banyak, ya, untuk saranmu. Maaf mengganggu waktumu, selamat sore, sampai jumpa, Ko. " Gemetaran, kuletakkan gagang telepon, takut ada yang antre sambil mendengar semua percakapanku. Apalagi jika mami papi atau pegawai mereka mencari atau memergokiku di sini. Mau apa si Joy? Apalagi jika ke-gep neleponin anak guru musik, gak pake telepon rumah! Aneh bin ajaib, bukan?
Beberapa waktu kemudian, seiring bertambah sukarnya pelajaran sekolahku, aku mulai malas ikut kursus musik dan akhirnya berhenti secara diam-diam dari kursus papa Drew. Karena itu, hilang juga kesempatan dan kisah gombalku bersama Drew. Tidak ada lagi acara mata-mata dan intip-intipan saat ia sedang mengajar murid-muridnya sendiri. Saat aku hanya bisa merasa iri dan cemburu pada semua anak perempuan yang beruntung bisa diajari oleh Drew. Namun aku sadar diri, ia tak mungkin bisa kumiliki. Kalaupun bisa sama-sama suka, terus jadian dan pacaran, aku sebenarnya paling ogah punya calon bapak mertua guru musik sendiri!
Saat duduk di bangku SMA unggulan di Jakarta Barat yang terkenal killer, gebetan ketigaku lain lagi. Seorang cowok yang terlihat kalem bin cool kukenal saat kami bersama-sama diklat persami pada Hari Sabtu dan Minggu penuh 'siksaan' klub pecinta alam. Menurut cewek-cewek sebaya, cowok bernama Jonathan itu bertubuh sedang-sedang saja, tidak setinggi tipe cowok-cowok idola cewek pada masa itu. Bukan tipe kutilang alias kurus tinggi langsing. Jo dingin dan sekilas kaku bin somse, tapi jika tersenyum, manis sekali.
Di mataku, Jo seperti Trunks, tokoh dalam komik Dragon Ball yang sedang naik daun masa itu. Dengan rambut belah tengah dan tubuh agak kekar, ia benar-benar tipeku. Apalagi sikapnya yang tidak mudah tergoda cewek-cewek, senyum dan tawanya yang langka. Semakin tergila-gila aku rasanya. Beberapa minggu dan bulan diklat pecinta alam hingga hampir lulus kujalani tanpa beban. Walau para senior kami kerap menyiksa anak-anak calon anggota dengan push up, sit up, jalan jongkok, lari keliling lapangan sepak bola sepuluh kali, aku merasa baik-baik saja asal ada Jo di sisiku. Dia jadi salah satu temanku, walau kami jarang bicara dan dia irit kata-kata, kehadirannya saja sudah memberiku penyejuk mata yang adem. Mencuri pandang adalah kesukaanku.
Sayang sekali, aku melewatkan dua kali absen diklat sehingga harus kehilangan kesempatan bisa terus maju bersama Jonathan. Bersama beberapa belas teman, Jo berhasil dilantik menjadi anggota di Gunung Papandayan. Hanya bisa ikut gembira saja atas pencapaiannya, hubungan pertemananku dengannya hanya tinggal impian. Apalagi kami tidak pernah sekelas sampai tamat sekolah.
Lagi-lagi, aku Si Bebek Jelek Joy hanya bisa mencuri-curi pandang Jonathan lewat dinding kaca kelasnya saat istirahat. Apa yang sedang Jo lakukan? Terjadi pula hal yang kutakutkan. Jo mulai akrab dengan cewek lain yang lebih tua satu tahun dari kami, seorang cewek pemegang sabuk hitam karate bernama Lenna. Waduh, bagaimana caranya sekarang mendekati Jonathan?