"Dear Abi, maafkan Mena juga, ya.
Mena tahu Abi sebenarnya tidak bermaksud jahat atau buruk. Sama seperti semua suami di dunia ini, sebenarnya tidak ada cinta dan pasangan hidup yang sempurna. Demikian pula kisah cinta kita.
Mena tahu jika Abi mungkin khilaf, Abi bermaksud meminta maaf, Abi menyesal, walau Mena tak tahu apakah masih bisa percaya kepada Abi atau tidak lagi.
Namun jika Mena memaafkan Abi begitu saja, Mena rasa Abi tidak gentleman. Sebenarnya Mena ingin mengakui sesuatu, izinkanlah Mena. Saat Mena dulu setuju untuk menikah dengan Abi, Mena terlalu terburu-buru. Mena kurang mendengarkan kata-kata peringatan dan nasihat kedua putra Mena. Mena terlalu yakin jika Abi tidak akan sama seperti suami Mena yang dahulu. Mena terlalu cepat ingin kita bersama-sama tanpa pernah berpikir akan tiba di titik ini.
Mena sekarang menyesal, namun semua tiada berguna. Sebenarnya Mena tak ingin berbuat ini, namun Mena terpaksa menyerahkan semua yang terjadi di antara kita berdua kepada yang berwajib. Jika saja Mena bisa mengulang waktu, barangkali pernikahan kita sebenarnya takkan terjadi.
Mena hanya ingin berpesan kepada seluruh dunia, kepada gadis-gadis khususnya yang belum berpasangan, atau akan menjalani bahtera pernikahan agar jangan sampai mengikuti jejak Mena.
Seorang laki-laki tidak dinilai dari kuat gagah, tampan, bahkan hartanya. Kadang laki-laki yang terlihat kaya pun belum cukup bisa memberikan kita kebahagiaan duniawi saja. Hanya pintar memutar kata juga sebenarnya belumlah cukup. Apalagi jika ringan tangan, kiranya dijauhkan. Sekali saja sudah lebih dari cukup, apalagi berkali-kali.
Teruntuk Abi, seandainya kisah romansa kita hanya cukup sampai di sini, maafkan Mena juga, ya.
Tertanda, Mena."
(Hanya sebuah khayalan/imajinasi belaka, terinspirasi dari kisah yang dialami Venna Melinda dan Ferry Irawan)