Lihat ke Halaman Asli

Wiselovehope aka Poetvocator

Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

(Harus) Menang: Antara Kompetitif dan Jurang Sosial Penghakiman Kegagalan

Diperbarui: 3 Januari 2023   09:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi via Thinkstock

"Menang, senang, tenang, akhirnya pasti disayang!"

Haruskah? Bagaimana jika kita sudah berusaha melakukan segala yang terbaik namun kebetulan belum bisa menang?

Kadang kita terlalu terbawa rasa percaya diri jika kita akan menang. Kita pernah menang, sering menang, dan akan selalu menang. Kita merasa diri sudah cukup baik. Kita lahir penuh bakat dan minat. Jika bisa, sudah pegang sutil atau setir!

Misalkan kita seorang koki yang sering ikut kontes masak, atau pembalap yang ahli mengemudi, ikut kejuaraan formula sekian. Kita spesialis masak mi ayam. Kita sudah ahli setir, siap tancap gas. Rasanya tutup mata pun masak juga jadi. Tak usah lirak-lirik resep lagi atau timbang bahan lagi. Atau 'fasih' nyetir tanpa kagok-kagok sering nengok spion apalagi nabrak. Letak pedal gas dan rem tak pernah tertukar kanan kiri. Pokoknya gaspol.

Akan tetapi di atas langit masih ada langit. Kadang talenta, kepercayaan diri, jam terbang dan pengalaman pribadi saja belum cukup. Hari ini belum tentu hari kita, 'not our day' kata lidah bule.

Bisa saja masakan mie kita agak lodoh di mata juri, keasinan, atau malah kurang kenyal. Juri-juri lebih suka mi manis, kita terlanjur masak mi gurih asin.  Atau tiba-tiba ada 3 saingan yang dadakan berhasil menyalip kendaraan kita padahal sudah dekat banget ke garis finish. Juara empat, deh!

1. Barangkali karya atau kita 'bukan atau belum sesuai kriteria yang dicari' dalam perlombaan dan kompetisi itu. Bukan berarti kita tidak cukup baik atau malah buruk/gagal. Hanya saja kita memang 'belum beruntung'.

2. Kadang kita memang masuk di kolam atau kandang yang salah. Kita merasa diri ikan, nyebur masuk ke kolam air tawar, padahal kita ikan air asin. Kita seekor bebek, namun nyasar masuk ke kandang ayam. Jadi itu bukan salah kolam atau kandang, hanya kita belum menemukan kolam atau kandang yang tepat.

3. Kita terlalu dini besar dalam satu bidang sehingga sudah yakin diri kita sudah matang. Padahal untuk mencapai kematangan sejati bukanlah dengan menang, senang, tenang dan disayang terus. Kita kalah, kita belajar, lidah bulenya, 'We lost, we learn!'

Kita patut tanamkan kepada diri masing-masing dan anak-anak kita, belajarlah mengalah dan juga jadilah legawa jika kita kalah. Tak apa-apa tidak selalu masuk peringkat kelas 10 besar, misalnya. Tak apa-apa tak usah selalu koleksi piala atau medali atau pecahkan rekor, asal kita sudah maksimal berusaha dan terus berlatih mandiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline