Beberapa kali waktu penulis masih sering naik angkutan umum Bus Kopaja atau Kopami medio 2015-2016, pengamen keliling turut masuk ke bus mini khas Jakarta ini dan memainkan alat musiknya yang 'asal genjreng' saja, entah ukulele, gitar tua atau 'kecrek-kecrek' ala marakas. Setelah menyanyi yang kadang merdu kadang sumbang bin fals (bukan Doel Sumbang atau Iwan Fals), mereka pasti 'angkat topi' atau menyodorkan sebungkus wadah bekas permen untuk menampung uang 'sukarela' dari penumpang.
Pernah saya memberikan uang logam 500, 1.000, bahkan uang kertas 2.000 Rupiah (yang membuat naik Kopaja atau Kopami malah jadi lebih boros ketimbang naik bus Patas AC atau busway yang waktu itu jalannya sedang dibetulkan). Apalagi jika pengamennya niat. Namun ada kalanya yang saya miliki hanya 50, 100 atau 200 Rupiah dari kembalian minimarket.
Lalu apa yang terjadi jika kita berikan? "Maaf, Pak, Bu, tidak terima uang kecil!" kadang malah ditepis ketus, "Segini 'mah gak dapat apa-apa, Pak, Bu!"disertai mimik kurang bersahabat yang sukses bikin keder. Akhirnya daripada buat masalah, kita harus selalu sedia uang minimal 500 atau 1.000 di saku/dompet koin dalam perjalanan. Daripada nanti dianggap pelit, dianggap cari ribut!
Padahal sebenarnya uang seberapapun nilainya, selama masih menjadi alat pembayaran yang sah, mengapa tidak digunakan?
Hal yang sama juga kerap terjadi entah di pasar tradisional atau di kehidupan pada umumnya. Yang masih mau menerima mata uang kecil hanya minimarket saja. Kadang, untuk membulatkan kembalian, mereka juga masih menerima uang kecil 100-200, kok.
Dan masih ada satu lagi!
Tempat bekerja masal / padat karya semacam pabrik-pabrik di Tangerang masih banyak kok, yang mengupah karyawan-karyawati borongan finishing hingga ke puluhan dan ratusan Rupiah. Bukannya pelit, namun gaji dihitung berdasarkan banyaknya pekerjaan yang diambil. Misalnya ongkos lipat satuan sebuah barang 25 Rupiah, lipat 2 barang ya 50, berhasil lipat 1000 barang ya dapat 25.000. Jumlah ini terkadang ganjil atau tidak bulat, maka masih dibutuhkan uang kecil. Bisa saja seseorang menerima 10.050 Rupiah, jika bisa selesai melipat 402 barang, misalnya.
Karena uang kecil kadang susah dimintakan penukarannya di bank, kadang pegawai-pegawai kantoran malah dimintai bantuan perusahaan agar menyetorkan/menukarkan uang kecil kembalian kepada perusahaan. Unik, bukan?
Intinya, bagaimana jika uang kecil bisa diperlakukan kembali sesuai prinsip sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit? Bukannya dianggap sepele, dianggap receh dan remeh (sesuai namanya uang receh), namun bisa dikembalikan derajatnya, lebih dianggap, lebih dihargai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H