Berikut ini beberapa opini pribadi pahit manis penulis mengenai literasi:
1. Bukan hanya 'karya tamat atau updated, dibagi lalu selesai'!
Tugas menulis seorang penulis sesungguhnya masih jauh dari usai. Sesempurna dan sebaik-baiknya sebuah karya tulis, fiksi non fiksi, tentu masih memiliki kekurangan. Seyogyanya kita sempatkan melihat lagi ke belakang, apakah ada kesalahan tik atau kelebihan/kekurangan kata.
2. Menulis tidak akan pernah bisa hanya menyasar target pembaca 'tunggal'!
Tunggal di sini ibarat ingin memanahkan sebuah anak panah atau menembak dengan senjata api berpeluru satuan. Menulis bagaikan menembak dengan senapan mesin berpeluru ekstra banyak atau juga bisa diibaratkan menyiram taman dengan selang air. Bisa menyasar sesuatu, namun akan ada yang 'terciprat' juga alias tidak bisa sepenuhnya tepat sasaran.
Misalnya, kita mungkin ingin menarget (utama) pembaca dewasa saja. Akan tetapi kita takkan pernah tahu jika ada anak-anak di bawah umur yang bisa saja membaca kisah kita dari ponsel orang tuanya. Sebenarnya bukan murni salah orang tua mereka di sini, mengapa? Sebuah pertanyaan menarik, meskipun demikian tidak untuk dibahas kali ini.
Menulislah dengan tujuan bisa dibaca target mana saja/layak baca untuk rata-rata semua usia. Semisal kisah cinta dewasa atau erotika, jika kita bisa menerakan dengan elegan, para penikmat sastra muda usia pun bisa ikut menikmati dan menggali makna tanpa rasa malu, jengah atau bersalah.
3. Menulis tidak akan pernah bisa 'baik/berhasil' jika tidak didasari oleh kesukaan dan minat membaca.
Mengapa? 'Baik/berhasil' dalam hal ini bukan berarti sudah sempurna luar biasa tanpa kesalahan atau sukses menghasilkan, melainkan tepat, bermanfaat, bermakna.
Menulis ibarat berenang atau berlayar. Membaca ibarat proses mengenal air dan arus. Jika ada penulis mengaku senang menulis tapi tidak suka membaca, sama saja dengan perenang atau pelaut yang tidak suka pada air. Laku, viral, ngetop, terkenal 'sih bisa-bisa saja dengan pelbagai cara.