Lihat ke Halaman Asli

Wiselovehope aka Poetvocator

Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

Kisah Guru TK hingga SMU-ku, Terkenang Tak Terlupakan

Diperbarui: 29 November 2022   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi via Pixabay

Nama serta wajah guru-guru sekolahku tidak semua bisa kuingat, namun ada beberapa yang masih lestari dalam ingatan. Guru TK-ku yang hingga kini kuingat bernama panggilan Bu Leng dan Bu Siska. Bu Leng bertubuh sedikit subur, yang kuingat darinya hanya beberapa anak pernah memanggilnya 'Bu Kaleng'. Nama panjangnya kami murid-murid tidak tahu. Bu Siska berkacamata dan berambut panjang. Yang diingat malah penjaga sekolah yang ramah bernama Bang Neran. Anak-anak memanggilnya Pangeran, mungkin karena namanya mirip putra raja.

Guru SD yang kuingat bernama Bu Maya, guru wali kelas satu. Lalu ada Bu Inge, pustakawati. Karena sering meminjam buku maka aku masih ingat sosoknya. Lalu di kelas dua ada Bu Hetty, yang kata anak-anak sedikit galak. Guru kelas tiga bernama Bu Dewi, mirip nama belakangku. Guru kelas empat agak unik, bernama Pak Saragih. Kadang kami menjulukinya 'Pasar Pagi', namanya juga anak-anak iseng! Waktu itu masih jarang ada guru wali kelas laki-laki, hanya beliau dan Pak Bambang yang gagah, guru olahraga. Guru kelas lima bernama Bu Harsianti, kami sekelas menjulukinya 'Bu Kucing' karena konon di rumahnya beliau memelihara banyak sekali kucing. Beliau tidak menikah, jadi punya banyak waktu mengurus anabul-anabul tersebut. Guru kelas enam bernama Bu Els dan Bu Bertin. Karena agak galak, kami menjulukinya Bu Algojo. Tentu saja itu hanya keisengan anak-anak umur 11-12 tahun, hanya canda di belakang beliau saja. Selain itu ada guru Bahasa Inggris bernama Madam Ester. Salah satu yang paling ramah dan baik hati.

Guru yang paling kuingat di SMP tentu saja guru Bahasa Indonesia. Namanya Bu Esther Mukim. Karena beliaulah saya jadi suka membaca novel dan menulis novel dan aneka fiksi-non fiksi hingga saat ini. Karena tugas Bahasa Indonesia membaca novel mulai dari N.H. Dini hingga novel-novel karya sastrawan Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru dan selanjutnya, saya jadi gemar membaca. Ibu Esther ini juga dijuluki Ibu Softball karena hobi 'menggebok' anak-anak yang tidak membuat PR dengan penggaris kayu. Tentunya hanya main-main, tidak menyakitkan. Untungnya saya luput karena tak pernah lalai atau salah jawab pertanyaan beliau.

Guru selanjutnya yang paling tak terlupakan adalah Bapak Sigfried atau kami sekelas juluki Pak Kiprit. Beliau adalah guru matematika yang senang 'mencubit' anak nakal (hanya laki-laki, kalau perempuan beliau 'sayang'), walau tentu saja tidak sakit namun konon cubitannya 'tak terlupakan'. Hukuman lain dari beliau adalah jalan jongkok. Wah, yang mengalami ini hampir semua anak yang pernah terlambat atau tidak buat PR! Banyak yang curang, akting jalan jongkoknya jika pas lewat di depan kelas beliau saja. Di kelas lain, lari!

Guru lain adalah Ibu Sis (guru Seni), Ibu Hanna (guru Fisika), Bu Rosa, Ibu Devi (Inggris), Ibu Debora (guru Sejarah), Ibu Sur (guru Ekop, Ekonomi dan Koperasi), Pak Samedi (Pak Sam). Beliau guru PPKn yang sangat unik, mengaku tidak pernah menggosok gigi dengan pasta gigi tapi giginya tetap sehat dan tidak ompong. Lalu ada Bu Lisa (Guru BK), Pak Amiril (Guru PPkn) dan Pak Thomas (Guru Matematika) yang juga disukai semua anak perempuan karena tampan, mirip Andre Taulany muda anggota band Stinky yang waktu itu naik daun. Ada juga Bu Adoe (guru Bahasa Inggris) yang terkenal dengan gaya rambutnya yang berkonde, Bu Handayani (guru Biologi), Pak Yahya (guru Geografi).

Guru SMU paling berkesan adalah Bu Conny, guru Aljabar yang galak tapi cantik, favorit siswa-siswa laki-laki. Ada juga Bu Padhmika atau Bu Pede, guru matematika cantik juga. Selalu buat deg-degan karena sering memanggil dari nilai terendah saat pembagian hasil ulangan. Guru favorit lagi-lagi guru Bahasa Inggris yang kami sapa Sir Teguh. Bertubuh subur namun lucu, periang dan ramah. Guru Sosiologi kami Pak Hendrik juga agak nyentrik, sering memberi soal isian tapi bukan kosong pada subjek atau obyek melainkan pada kata sambungnya. Sungguh membuat kesal jika harus menjawab 'dan','atau' 'tapi' dan semacamnya. Lalu ada Pak Triongko yang sering menceritakan kisah unik dan heboh di bidang Antropologi yang ia ajarkan. Ada juga Pak Andi guru Geometri yang kami juluki Andi Waw (karena aktor HK Andy Lau sedang naik daun saat itu). Ibu guru cantik lainnya adalah Bu Melisa, guru Kimia yang imut dan awet muda. Juga ada Bu Murni yang sudah tua berambut putih namun masih mengajar. Pak Kim Liong, atau dijuluki Pak KL, guru matematika yang imut dan disukai banyak siswi. Pak Gentur, guru Fisika. Pak Munir, guru OR. Lalu ada Pak Eka, berkumis dan tinggi besar. Walau beliau guru matematika yang dianggap galak namun beliau selalu sabar membimbing dan juga senang bercanda. Ada Pak Zain, guru yang memberi nilai ulangan paling tinggi 80 saja, karena 90 adalah 'nilai untuk guru' dan 100 'nilai untuk Tuhan'.

Masa-masa sekolah kita, belasan tahun dan puluhan tahun silam memang indah, penuh kenangan indah tak terlupakan. Terima kasih bapak dan ibu guruku. Mungkin kita belum sempat bertemu lagi, terpisah jarak dan waktu, akan tetapi jasa-jasamu abadi dalam diri  kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline