Lihat ke Halaman Asli

Wiselovehope aka Poetvocator

Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

Seberapa Besar Dukacita dan Kesedihan Mempengaruhi Kita?

Diperbarui: 22 November 2022   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi via Pixabay

Kasus kematian misterius 4 anggota keluarga (ayah, ibu, anak, paman) dalam keadaan mengering di Kalideres semakin jelas. Almarhumah ibu (umur akhir 60-an) diduga sudah tiada sejak bulan Mei 2022 dan mayatnya disimpan atau dirawat sang anak perempuan berusia awal 40-an, yang kemudian turut meninggal (belakangan, belum lama pasca ditemukan).

Kasus ini mengingatkan penulis pada satu-dua film lama yang judulnya terlupa (saking seringnya nonton dulu-dulu sebelum berkeluarga) tapi isi kisahnya mirip sekali, tentang anak/suami yang tidak menerima kematian ibu/istrinya yang meninggal karena sakit lalu merawat jenazahnya hingga menjadi mumi. Dirawat, diberi makan minum, didandani, diajak bicara, dimandikan dan lain-lain seolah-olah masih hidup.

Kesamaan antara dua kasus fiktif dan mungkin nyata itu, mereka menolak untuk percaya jika orang tercinta sudah tiada. Hingga ditemukan orang luar atau tamu sekalipun, mereka menolak untuk melaporkan atau mengusahakan agar jenazah dimakamkan secara layak. Bahkan mereka tak segan-segan mengancam pihak ketiga agar tidak membocorkan perihal kematian ini kepada siapapun di luar sana. Mereka berusaha keras agar tetap bisa bersama dengan jenazah keluarga tercinta, bahkan hingga mati bersama / di sisi sang almarhum/almarhumah.

Kesedihan kadang dianggap sepele. Kematian seringkali dianggap seperti hal yang biasa, lumrah terjadi, pasti terjadi. "Mati-hidup di tangan Tuhan. Semua sudah biasa. Tak usah berlebihan." Nasehat yang sudah sangat sering kita dengar, bukan? Sebenarnya itu penghiburan berniat baik yang ditujukan agar yang berdukacita tak lama-lama larut dalam duka. Akan tetapi, kita tak pernah bisa tahu seberapa dalam seseorang bisa menanggung duka.

Saran dan opini penulis, mari kita lebih peka dengan keadaan orang di sekitar, baik yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai. Kesedihan seseorang karena ekspresi kehilangan bisa lebih dari sekadar menangis atau meratap saja. Mereka bisa begitu berdukacita hingga tak bisa terlupa seumur hidup. Bukan tak mungkin mereka sanggup melukai diri karena menyalahkan ketidakberdayaan atau menyesal karena merasa bersalah 'menyebabkan ibu/istrinya' meninggal dunia.

Kita yang mungkin sedang berduka juga perlu suatu saat bangkit dari kesedihan, menangislah, namun ingat, menutup diri bukan solusi. Kadang yang masih ada pada kita adalah jawaban atas segala rasa sedih saat ini, apa yang ditinggalkan dan diwariskan almarhum/almarhumah tercinta. Tetaplah hidup sebaik-baiknya untuk meneruskan kehidupan yang ditinggalkan, itulah mengapa anak cucu disebut generasi penerus.

Bagi sahabat dan keluarga pihak yang berduka, boleh bersimpati, namun jangan sampai 'menormalkan kematian' hingga kehilangan empati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline