Di masa kini, tampaknya penjualan buku non fiksi dan fiksi cetak tidak semasif saat zaman penulis masih muda. Sewaktu kecil, pas ke toko buku bersama ortu, penulis sekali beli bisa minimal tiga hingga lima. Harganya per eksemplar masih kisaran ribuan-belasan ribu Rupiah. Komik Nina, Tintin, Smurf (misalnya) pada tahun 1990-an harganya hanya 3000-an Rupiah saja. Sekarang, jika tidak salah satunya bisa mencapai 9 puluhan hingga ratusan ribu Rupiah. Tepok bulu, eh, jidat!
Bayangkan, satu novel indie saja harganya bisa mencapai puluhan ribu Rupiah. Apalagi yang di toko buku, bisa ratusan ribu!
Mengapa?
Harga kertas naik terus, ongkos cetak juga mahal. Jadi banyak calon pembeli yang sebenarnya suka baca, jadi enggan membeli karena dianggap terlalu mahal.
Kabar baiknya, sekarang jika mau nyetakin buku, tidak usah ribuan eksemplar seperti dahulu. Tentunya rumus yang sama masih berlaku, makin banyak makin baik karena bisa lebih murah.
Penting untuk kita ingat beberapa fun facts tentang buku:
Tak pernah ada ruginya membeli buku. Tidak akan habis-habisnya dan takkan lapuk lekang jika dirawat dengan semestinya.
Buku tak seperti data dan apapun yang hanya terketik di gawai kita, tak bisa terhapus dan takkan hilang (selama tidak lupa di mana meletakkan).
Buku bisa diwariskan. Keturunan kita bisa membaca semua buku yang kita tinggalkan, karya kita maupun penulis lainnya.
Buku adalah gudang ilmu.