Lihat ke Halaman Asli

Wiselovehope

Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

Nostalgia Naik Kopaja

Diperbarui: 9 November 2022   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto via Flickr

Sewaktu halte busway Indosiar sedang direnovasi dan jalan ditinggikan sekitar tahun 2015-2016, selama beberapa bulan penulis pernah menjajal Kopaja atau Kopami yang waktu itu masih beroperasi di Jalan Daan Mogot Jakarta menuju Kalideres.

Sebagai kendaraan umum sedang, tentu saja tarif Kopaja atau Kopami lebih mahal daripada tarif Bus Way yang sejak dulu sudah murah. Kira-kira tiga hingga empat ribu Rupiah, kendaraan ini tentu saja tidak senyaman bus way atau Patas AC.

Sebenarnya bukan masalah tarif. Yang paling memorable dari angkutan umum ini tentu saja oper-operan penumpangnya di kala sepi. Satu Kopaja sering 'tega' mengoper penumpangnya ke Kopaja lain jika sedang sedikit, entah karena 'malas jalan' atau juga karena alasan teknis, misalnya mogok.

Soal ngamen, jangan ditanya lagi. Jika naik kendaraan ini, kita harus menyediakan dana lebih entah 500 atau 1000-an dalam bentuk koin atau kertas. Sering sekali ada satu dua pengamen bergitar atau dengan tepuk tangan saja naik setiap kendaraan berhenti. 

Kadang ada juga pemaksaan secara halus, misalnya dibuka dengan kalimat 'daripada kami melakukan tindakan merugikan, kiranya bapak ibu bisa berbagi' dan sebagainya. Jika kita hanya memberi uang 200-an, kadang pengamen menolak. 

Tapi tak jarang juga ada pengamen yang benar-benar bisa menyanyi dengan suara cukup bagus, dan juga tidak memaksa alias sukarela. Yang seperti ini kadang buat penulis tidak tega dan memberi uang lelah lebih dari biasanya.

Jika penumpang sedang penuh-penuhnya, pemandangan penumpang atau kenek bergelantungan di pintu sudah biasa terjadi. Meski sangat membahayakan, waktu itu sama sekali tak ada yang peduli.

Belum lagi masalah berkelahi antar sopir karena kebut-kebutan saling kejar setoran, seringkali kami sebagai penumpang jadi deg-degan. Kadang Kopaja berhenti di tepi jalan, lalu sopir-sopirnya berdebat entah masalah apa. Yang penulis dengar, satu sopir merasa sopir lainnya cari ribut, memotong busnya demi mendapat penumpang alias nyelak. Jika sudah begitu, kami hanya bisa pasrah menunggu hingga perdebatan selesai, atau mungkin turun saja dari bus mencari angkutan umum lainnya.

Yang sering sesama penumpang keluhkan tentu saja copet, untuk yang satu ini syukurlah penulis belum pernah mengalaminya.

Kopaja dan Kopami memang sudah beberapa tahun ini tidak ada lagi di Jakarta, keberadaannya telah digantikan oleh bus way dan angkot Jak Lingko. Akan tetapi, kenangan pahit-manis naik bus sedang ini tetap lestari dalam ingatan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline