Lihat ke Halaman Asli

Wiselovehope

Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

Mari Berhenti 'Siksa' Bahasa Indonesia! Kok Bisa?

Diperbarui: 5 November 2022   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi via Pixabay

Bahasa Indonesia adalah bahasa ibu kebanggaan kita semua. Tetapi sayangnya, bahasa ibu kita seringkali tanpa sadar kita siksa. Lho, bagaimana bisa? 

Memangnya kita kurang sayang apa 'sih pada bahasa pertama yang kita pelajari sedari melek mata di rumah dan diajarkan guru di bangku sekolah dengan 'susah payah' ini?

Pertama, misalnya saat kita menulis. Demi membuat konten fiksi yang viral (baca: laku), banyak penulis pemula berusaha mencari kata-kata panas sedemikian rupa dan dimodifikasi hingga bisa lolos dari sensor. 

Beberapa aplikasi novel online menerapkan bintang-bintang (*) untuk menyensor beberapa kata kasar yang tak diperbolehkan, misalnya penggambaran vulgar organ vital manusia. 

Kadang diakali oknum penulis dengan penambahan huruf atau mengubah huruf jadi angka, misalnya kata perawan menjadi per4w4nSeringkali juga kata diganti diibaratkan dengan sesuatu yang malah lucu atau jauh dari konteks, misalnya mengibaratkan bagian-bagian tubuh terlarang dengan makanan tertentu. Bukannya jadi romantis, malah jadi ambyar.

Penyiksaan Bahasa Indonesia kedua  yang dilakukan untuk menghindari sensor juga terjadi pada headline berita clickbait atau judul-judul iklan. Biasanya dengan memanjang-manjangkan kata atau mengubah beberapa huruf. Tak jarang, hasilnya malah menggelikan. Misalnya kata (maaf) bokep diganti bokeh, mesum diganti dengan museum. Beda banget artinya, Cuy!

Bentuk penyiksaan Bahasa Indonesia ketiga adalah menggunakan sinonim kata begitu saja dengan kata berarti sama tanpa tahu konteks dan kaidah bahasanya. Misalnya kata mata dan ludah. 

Seringkali penulis pemula mengganti begitu saja kata mata dengan netra dan kata ludah dengan saliva. Padahal bahkan seorang dokter pun tidak akan menggunakan kata netra dan saliva saat mendeskripsikan penyakit dan informasi kesehatan kepada pasien. 

Alasan penggunaan kata-kata ini oleh oknum penulis, agar terkesan nyastra dan juga kaya kosakata, juga karena kata ludah dianggap menjijikkan, padahal sebenarnya tidak perlu. 

Menurut Pak Ikhwanul Halim, sahabat Kompasianer saya, kecentilan! Kata netra hanya digunakan terbatas untuk kata seperti tuna netra. Mungkin masih bisa untuk puisi, saya tidak seberapa yakin. Bahkan di iklan dan kemasan pasta gigi ternama saja masih dipakai kata ludah. Tidak pernah kita dengar ada kata netranya membesar, netra hari dan netra-netra, bukan? Gunakanlah kata pada konteksnya. Ada banyak kata yang hanya digunakan pada bidang tertentu, semisal istilah teknis dan medis. Hanya untuk lingkup dan bidang tertentu, bukan untuk awam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline