Poligami, topik usang memang, tapi tak pernah habis untuk dibicarakan, dibahas, diperdebatkan.
Izinkan saya bercerita tentang sepasang burung merpati yang almarhum ayah saya beli di tahun 1990-an. Keduanya kami taruh di dalam satu kandang, dan mereka memang 'sudah jodoh' alias cocok dan akur.
Sayangnya, saat memberi makan, pintu kandang sempat terbuka hingga si jantan sempat keluar dari kandang. Memang burung kami agak penakut, jadi ia tak berani saat kami coba tangkap, dan akhirnya pergi entah ke mana. Tertinggallah si betina galau, yang menanti-nanti jantannya kembali. Sungguh malang.
Ayah saya segera membeli merpati jantan baru dan memasukkannya ke kandang dengan harapan bisa menjadi pengganti si jantan. Konon, bila sering bersama lama-kelamaan si betina akan mau dengan jantan yang baru. Tapi si betina ternyata tetap setia dan tak mau didekati pasangan barunya. Berhari-hari ia tak mau makan, hingga akhirnya jatuh sakit, kemudian burung itu sedihnya, berpulang ke Tuhan maha penciptanya.
Di sini saya belajar hingga kini, hewan atau binatang yang punya naluri saja, notabene tak punya akal budi seperti manusia, pun bisa untuk SETIA.
Juga masih kisah nyata hewan peliharaan saya yang lain, di tahun 2000-an. Anjing jantan kecil saya yang selalu mendampingi sejak ayah saya dipanggil Tuhan karena sakit, juga setia menemani. Ia duduk diam di kaki saya selama berjam-jam saat saya menangis sedih waktu baru kehilangan ayah.
Umurnya hanya empat setengah tahun. Beberapa hari lamanya, ia terkena distemper, dan tak bisa lagi disembuhkan. Tapi ia berpulang dalam pelukan saya seakan menunggu saya pulang kuliah dulu pada sore hari pukul enam tepat tanggal 2 Desember, agar bisa bersama-sama untuk terakhir kalinya.
Kembali ke masalah poligami (atau berlaku juga untuk poliandri, mungkin lebih tepatnya, poligini alias berpasangan dengan banyak orang). Bila memang suami mencintai istrinya yang hanya punya satu jiwa dan satu raga, kadang saya tak habis pikir, mengapa satu jiwa dan satu raga itu seolah tak pernah cukup bagi seorang penganut poligami.
Ya, mungkin ia memiliki nafsu seksual yang besar, yang tak dapat dipuaskan hanya oleh satu wanita. Tapi toh, bentuk tubuh dan alat reproduksi wanita itu sebenarnya sama saja, hanya mungkin akan berbeda atau sedikit 'menurun' bila dimakan usia, tapi selama dua suami istri itu saling mencintai, menua bersama adalah hal paling manusiawi dan indah.
Bila milik suami 'menurun' tentunya istri juga mengalami, dan anehnya, sangat banyak pasangan setia (monogami) tak keberatan dengan hal itu, selama mereka masih saling cinta, apalah artinya sebuah perubahan pola hidup, apalagi jika anak-anak sudah besar. Tentu saja kebutuhan seksual masih ada, namun bisa diperbincangkan pemecahan masalahnya secara pribadi, tentunya 'kehadiran orang ketiga' bukan termasuk solusi.
Ingin menolong wanita yang tak bersuami lagi (janda) atau kaum tak punya / tak memiliki sumber mata pencaharian, mungkin bisa pula jadi alasan. Namun pada praktiknya, pandanglah secara realistis saja tanpa berusaha mengingkari fakta, lebih banyak istri kedua adalah wanita yang jauh lebih muda dan cantik.