Ibarat selera makan, kecantikan bagi setiap manusia di dunia memiliki standar berbeda-beda.
Belakangan heboh kabar, ada semacam halaman kecantikan yang menetapkan seorang selebriti dari Indonesia sebagai pemenang dengan golden face dan masuk 5 besar. Tapi banyak pihak dan warganet yang yang tak terima. Mereka bilang, dia kurang cantik, kurang menarik. Lebih cocok si Sasa, si Ayu, si Caca, dan lain-lain.
Bicara cantik ibarat selera. Bagi si Anu, mungkin tempe tahu itu enak, tapi bistik kurang enak. Bagi si Itu, duren itu tasted like heaven, namun bagi si Dia, raja buah itu baunya ibarat neraka.
Begitu pula kecantikan wanita dan ketampanan pria. Ada yang suka bodi semok montok, dianggap lebih subur. Ada yang lebih suka kurus. Ada yang suka rambut keriting, ada yang suka lurus. Ada yang suka mata belo, ada yang suka sipit. Ada yang suka bibir tebal, ada juga yang suka bibir tipis.
Jadi salah besar, bila Anda sebut si Titi tak secantik si Ayu. Atau si Badu tak seganteng si Budi. Karena tak pernah ada penggaris, busur atau kalkulator untuk apa yang terlihat, yang ada hanya proses menikmati estetika diproses oleh otak yang lalu memuaskan aneka indra terutama mata.
Kecantikan ibarat selera, sangat relatif. Dan tak pernah ada yang negatif.
Jadi, mengapa kecantikan harus diperdebatkan? Dan mengapa harus diukur-ukur, sementara semua manusia berujung kubur. Tak ada yang abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H