Lihat ke Halaman Asli

RANDI HADINATA

Advokat Dan Konsultan Hukum

2 Jalan Konstitusional untuk Mendelegitimasi Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Diperbarui: 13 Oktober 2020   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Randi Hadinata

Beberapa waktu belakangan ini kata omnibus law begitu sangat populer dan familiar di telinga sebagian masyarakat indonesia  sebenarnya apasih pengertian dari pada omnibus law itu sendiri ?

Kata omnibus law berasal dari bahasa latin yaitu omnis yang bearti “banyak” atau “untuk semua” dan dalam pengertian lain Omnibus law juga dapat diartikan sebagai suatu aturan yang mengatur banyak isu dan topik yang di rangkum dalam satu regulasi yang merubah banyak regulasi sekaligus.

Dan di Indonesia tepatnya pada hari Senin Tanggal 5 Oktober 2020 Rancangan Undang-Undang omnibus law cipta lapangan kerja baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Undang-Undang namun dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Omnibus Law cipta lapangan kerja  ini menjadi Undang-Undang tidak serta merta langsung menjadi Undang-Undang yang berlaku namun harus melewati beberapa proses lagi seperti penandataganan oleh Presiden dan dengan ending proses yaitu pengundangan di lembaran Negara dan Lembaran Tambahan Negara , dan selama proses penandatangan tersebut tidak dilakukan oleh Presiden semenjak Rancangan Undang-Undang tersebut di setujui  maka sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Rancangan Undang-Undang  tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib di undangkan hal lebih lanjut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang.

Namun dengan disahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law cipta lapangan kerja  ini menjadi sebuah Undang-Undang hal tersebut menuai banyak penolakan di sebagian masyarakat Indonesia dan berbagai sikap dilakukan oleh masyarakat Indonesia terkait dengan penolakan tersebut diataranya adalah melakukan aksi demonstrasi sebagai suatu sikap yang paling banyak di lakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia terkait dengan kekecewaan mereka terhadap keputusan yang di ambil oleh wakil mereka yang duduk di lembaga legislativ tersebut sebagian masyarakat berpandangan bahwa Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tersebut yang baru saja di sahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia  sama sekali tidak mengimplementasikan aspirasi masyarakat , lebih khususnya masyarakat yang bekerja sebagi buruh.

Dalam hal ini penulis ingin membahas terkait bagaimana caranya untuk tidak memberlakukan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan kerja ini menjadi sebuah Undang-Undang dan hal tersebut tentulah sepanjang pengetahuan dan pemahaman penulis terkait dengan persoalan ini.

Dalam perspektif hukum tidak ada ketentuan atau dasar aturan yang mengatur terkait bagaimana caranya membatalkan sebuah Rancangan Undang-Undang yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang tersebut untuk  bisa menjadi batal , namun dalam hal lain sebuah Rancangan Undang-Undang tersebut untuk tidak bisa berlaku menjadi sebuah undang-undang yang baru saja di sahkan itu dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu Judicial Riview atau Pengeluaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) oleh Presiden.

 Judicial Riview  secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu kegiatan penijauan kembali yang di dalam sistem hukum di Indonesia kewenangan tersebut di berikan kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi , yang bila mana pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sedangkan pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Kemudian dari pada itu kembali kepada konteks Pembahasan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang baru saja di sahkan menjadi Undang-Undang apabila Judicial Riview yang menjadi pilihan yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok masyarakat pada natiknya juga tidak bersifat “Membatalkan” namun bersifat Konstitusional Atau Inkonstitusional yang apabila putusan tersebut Inkontitusional maka dengan sendirinya Undang-Undang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap , yang mana putusan Mahkamah Konstitusi tersebut harus dimuat di Berita Negara sesuai dengan dasar Pasal 57 Ayat 3 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan jangka waktu paling lambat 30 hari kerja semenjak di bacakan.

Judicial Riview ini juga terbagi menjadi 2 Judicial Riview Formil dan Judicial Riview Materil , yang mana Judicial Riview Formil adalah penijauan yang di lakukan terhadap Prosedural pembuatan dan pembahasan Undang-Undang tersebut sedangkan Judicial Riview Materil adalah penijauan yang di lakukan terhadap substansi pasal tersebut apakah Konstitusional atau Inkonstitusioal terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Yang kedua cara untuk tidak memberlakukan atau mengubah pasal-pasal yang menui kontra tersebut adalah dengan cara mengeluarkan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang mana hal ini adalah hak Preogratif Presiden sesuai dengan dasar Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 yang mana berbunyi “Dalam Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa, Presiden Berhak Menetapkan Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang” yang yang mana harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada sidang berikutnya yang apabila tidak mendapatkan persetujuan maka peraturan Pemerintah tersebut harus di cabut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline