(Sumber gambar: Kumparan.com)
Paham demokrasi telah menyebar secara luas di hampir seluruh negara di dunia. Sekitar 120 negara dari 192 negara di dunia menerapkan paham demokrasi, yang salah satunya yakni Indonesia. Dengan dianutnya paham demokrasi di Indonesia, pipa-pipa penyalur kepentingan warga negaranya menjadi tidak tersentral melainkan lebih bebas dan beragam. Salah satu "pipa" yang terbuka dalam negara yang menganut demokrasi adalah kepentingan masyarakat dalam keberagaman budaya, etnis dan agama, yang dikenal dengan masyarakat multikultural. Namun, nyatanya masyarakat yang multikultural menjadi sebuah bumerang bagi demokrasi itu sendiri.
Jeff Spinner-Haley dalam tulisannya yang berjudul "Multiculturalism and Its Critique", Ia mengutip argumen filsuf Kanada, Will Kymlica yang mengatakan bahwa tujuan dari kewarganegaraan yang multikultural dan hak minoritas adalah untuk memberikan perlindungan eksternal dari pihak-pihak luar, dan bukan bertujuan untuk memperbolehkan para kelompok untuk membatasi hak dan otonomi sebagai bagian dari anggota kelompoknya.
Kymlica juga berharap bahwa perlu adanya dukungan dari negara untuk melindungi dan mengayomi kelompok-kelompok yang mempunyai kultur yang khas dari suatu negara bangsa. Yang difokuskan adalah budaya-budaya yang lingkupnya lebih kecil, karena dapat membahayakan ciri khas dari budaya itu sendiri yang semakin lama semakin terkikis oleh adanya dominasi dari mayoritas. Jika kelompok budaya mayoritas sudah cukup menerima dukungan baik itu secara eksplisit maupun implicit dari negara, maka fokus negara selanjutnya adalah mengayomi dan memperhatikan kelompok minoritas.
Melihat kondisi Indonesia saat ini, kelompok-kelompok yang merasa mayoritas dan superior lebih mendominasi kehidupan kelompok-kelompok minoritas. Tidak hanya mendominasi, ancaman pun kerap diberikan kepada kelompok minoritas yang berada di Indonesia. Jika negara Barat berkutat dalam masalah etnis dan warna kulit, Indonesia berada dalam permasalahan agama yang menjadi isu perpecahan dalam masyarakat yang heterogen.
Perlakuan-perlakuan yang diskriminatif kerap dialami oleh kelompok minoritas seperti sulitnya mendirikan rumah ibadah, pelarangan melaksanakan ibadah di rumah warga, penghinaan terhadap tokoh-tokoh agama, dan seterusnya. Hal-hal demikian secara tidak sadar adalah produk dari demokrasi yang akhirnya mengakomodir keberagaman kelompok-kelompok yang superior dan dominan dalam masyarakat untuk kemudian menindas kelompok minoritas di sekitar lingkungannya. Merujuk kepada Kymlica, bahwa peran pemerintah dalam mengayomi dan melindungi kelompok minoritas harus menjadi fokus utama negara dalam hal menjaga kondisi kehidupan multikultural yang kian lama didominasi oleh kelompok yang lebih dominan.
Demokrasi memang menjadi jembatan bagi para kelompok atau elemen masyarakat baru bermunculan di tengah masyarakat yang multikultural. Namun disisi yang lain, kebebasan yang dilahirkan dari rahim demokrasi mendorong kelompok-kelompok masyarakat yang secara identitas budaya maupun agama mendominasi di lingkungan maupun daerahnya, sehingga kemudian membatasi ruang gerak masyarakat yang tidak sepaham dan se-identitas dengan mereka. Dalam hal inilah masyarakat Indonesia masih terjebak dalam multikulturalisme yang "semu" dan berada dalam lingkaran setan demokrasi.
"Demokrasi mendorong utopia dalam masyarakat multikulturalisme"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H