Butternut squash, atau biasa dikenal sebagai labu madu ini sedang ramai-ramainya dibahas. Selain bentuknya yang unik karena mirip dengan kacang tanah, daging buah labu madu yang berwarna mentega itu memiliki rasa manis dengan tekstur lembut.
Tidak hanya enak, labu madu sangat baik untuk kesehatan, karena mengandung banyak serat, antioksidan, vitamin A dan B, serta beta karoten yang sangat baik untuk kebutuhan tubuh. Labu madu tidak hanya dikonsumsi oleh orang dewasa saja, bayi yang sedang dalam tahapan MPASI sangat dianjurkan untuk memakan buah labu.
Budidaya labu madu di Pasuruan sudah dikembangkan sejak tahun 2018. Saat itu Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang berasal dari Desa Pleret, Dusun Magersari, Kabupaten Pasuruan memiliki inisiatif untuk mengembangkan wisata dengan cara membuat perkebunan hortikultura, agar pengunjung DAM Pleret tidak bosan.
"Awalnya kan memang wisata air disini, teman-teman Pokdarwis akhirnya nyoba menanam cabe, terong. Tapi kan itu sudah biasa ya, lah kok nemu labu madu di internet. Yasudah kami coba tanam karena bentuknya unik" jelas Sukarto sebagai koordinator pengelola labu madu.
Pada panen pertama, hasil pengembangan wisata labu madu mulai terlihat memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari antusias pengunjung yang menjadikan perkebunan labu madu sebagai spot foto.
Pada panen kedua dan ketiga, hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Baru pada panen keempat, hasil panen melimpah ruah. "Kita belajar dari pengalaman sebelumnya", imbuh Sukarto.
Selain berburu foto dan berwisata air di DAM Pleret, pengunjung juga dapat memetik labu madu yang sudah matang. Untuk pembayaran, disesuaikan dengan berat labu madu yang dipetik. Satu kilo labu madu dipatok dengan harga lima belas ribu rupiah saja.
Walaupun sudah menjadi buruan masyarakat, untuk mengunjungi DAM Pleret tidak dikenakan biaya masuk. Cukup membayar parkir sebesar dua ribu rupiah untuk motor, dan lima ribu rupiah untuk mobil.
Sedangkan wahana wisata air seperti bebek air dan perahu, dikenakan biaya sebesar sepuluh ribu rupiah. Dari keuntungan yang didapatkan, selanjutnya dikumpulkan dan digunakan untuk mengembangkan wisata desa.
"Temen-temen Pokdarwis disini jumlahnya kurang lebih lima puluh orang. Kita nggak ambil untung sama sekali. Kalau ada lebih, ya dibuat makan bareng sama ngopi-ngopi", tambah Sukarto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H