Lihat ke Halaman Asli

Najmi Maulidia

Mahasiswa Universitas Airlangga

Membangun Kesadaran tentang Pernikahan Dini: Pentingnya Pendidikan dan Pemberdayaan di Sumenep

Diperbarui: 23 Desember 2024   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu hal yang sangat disayangkan dan memprihatinkan bagi saya, sebagai penduduk asli Sumenep, adalah tingginya angka pernikahan dini yang terjadi di daerah ini. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada Sumenep, tetapi juga meluas ke seluruh Pulau Madura. Data dari Pengadilan Agama (PA) Sumenep menunjukkan bahwa pada tahun 2022 terdapat 313 dispensasi pernikahan dini yang diajukan, sementara pada tahun 2023, dari Januari hingga Juni, sudah tercatat 122 permintaan dispensasi.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini. Salah satunya adalah praktik perjodohan yang dilakukan oleh orang tua sebelum anak-anak mereka cukup dewasa untuk membuat keputusan tersebut. Namun, tidak jarang pula pernikahan dini terjadi karena keinginan anak itu sendiri. Selain faktor tersebut, terdapat beberapa faktor signifikan lainnya yang memengaruhi pernikahan dini, seperti faktor sosial budaya, ekonomi, agama, serta pengaruh pergaulan bebas.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai isu ini dan solusi yang dapat diambil, penting untuk memahami definisi pernikahan dini. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia legal yang ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan nikah muda adalah pernikahan di usia muda tetapi masih dalam batas usia legal. Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1), "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Pasal 7 ayat (1) UU tersebut menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria dan wanita telah mencapai umur 19 tahun. Bahkan, World Health Organization (WHO) mendefinisikan pernikahan dini sebagai pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan yang masih tergolong anak-anak atau di bawah usia 19 tahun. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merekomendasikan usia ideal menikah bagi perempuan adalah 21 tahun dan bagi laki-laki 25 tahun.

Dampak dari pernikahan dini sangat jelas. Pertama, dapat menyebabkan stunting pada bayi; kedua, meningkatkan risiko keguguran atau kelahiran bayi cacat. Menurut Kementerian Kesehatan, kondisi kesehatan jasmani anak perempuan yang menikah terlalu dini dapat mengakibatkan rahim yang lemah karena sel telur yang belum matang, sehingga berisiko mengalami kelahiran prematur dan cacat. Selain dampak kesehatan, pernikahan dini juga berdampak negatif pada pendidikan anak-anak tersebut. Di daerah Batuputih, Sumenep, seorang Kepala Sekolah bernama Imam Ali Fikri mengungkapkan bahwa ada siswa yang dinikahkan secara dini dan mengalami kesulitan berkonsentrasi hingga putus sekolah karena beban ganda sebagai suami atau istri dan sebagai pelajar.

Dengan dampak seperti ini, bagaimana mungkin Indonesia dapat mewujudkan visi "Indonesia Emas 2045" jika di salah satu pulau di Indonesia, yaitu Pulau Madura---terutama di Sumenep---masih banyak anak-anak yang terjebak dalam pernikahan dini? Oleh karena itu, penyediaan pendidikan formal yang memadai, termasuk pendidikan seks, merupakan salah satu solusi efektif untuk mengatasi masalah ini. Ketika anak-anak perempuan dan laki-laki mendapatkan akses pendidikan formal yang baik, maka risiko pernikahan dini dapat diminimalkan. Setidaknya, mereka harus menyelesaikan pendidikan SMA sebelum menikah agar lebih sadar akan isu ini dan mencegah terulangnya masalah serupa di generasi mendatang.

Selain pendidikan yang memadai, pemberdayaan masyarakat juga sangat penting. Orang tua dan masyarakat sekitar merupakan pemangku kepentingan terdekat yang dapat berperan dalam mencegah terjadinya pernikahan dini. Oleh karena itu, penting untuk memberikan edukasi kepada mereka mengenai konsekuensi negatif dari pernikahan dini. Terakhir, mendorong terciptanya kesetaraan gender juga menjadi langkah krusial. Anak perempuan sering kali lebih rentan terhadap pernikahan dini akibat persepsi masyarakat mengenai peran domestik mereka. Lingkungan keluarga sering kali menganggap bahwa anak perempuan siap menikah ketika sudah mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki lebih dibebaskan untuk menikah dengan kemandirian ekonomi sebagai syarat kesiapan.

Penting untuk diingat bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihan dalam menikah serta hak untuk terus berkarya tanpa tertekan oleh stigma sosial seperti "jangan jadi perawan tua."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline