Indonesia adalah negara hukum, dimana setiap orang atau individu harus menjunjung tinggi supremasi hukum. Namuin pada kenyataannya hukum sering diabaikan, khususnya hukum pidana. Hukum pidana sebagai hukum publik mempunyai sifat memaksa. Penegakan hukum dalam perspektif hukum pidana terkait dengan kebijakannya, terutama kebijakan dalam sistem peradilan pidana. Kebijakan hukum pidana tidak bisa lepas dari tiga kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan legislatif, sehingga dalam pelaksanaan supremasi hukum harus diperhatikan masing-masing kekuasaan tersebut.
Penegakan hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu upaya dari pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang harus dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum.
Dalam sistem hukum pidana Indonesia kita mengenal istilah Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Dengan kata lain, Rutan adalah bagian dari Lembaga Tahanan/Lembaga Penahanan.
Secara umum, Rutan dan Lapas adalah dua lembaga yang memiliki fungsi berbeda. Rutan (Rumah Tahanan Negara) adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana. Selain adanya proses pembinaan yang ada di dalam Rutan dan Lapas, warga binaan pemasyarakatan juga mendapatkan hak integrasi PB, CB, dan CMB. Untuk lebih jelasnya akan di jelaskan seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2018 Tentang :
PB (Pembebasan Bersyarat), adalah adalah proses pembinaan Narapidana dan Anak Pidana yang di laksanakan di luar Rutan atau Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurangnya 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya minimal 9 (Sembilan) bulan. PB diperuntukan untuk warga binaan yang pidananya sama atau lebih dari 1 (satu) Tahun 7 (Tujuh) Bulan.
Cuti bersyarat (CB) adalah proses proses pembinaan di luar Rutan atau Lembaga Pemasyarakatan bagi Narapidana yang dipidana paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, sekurang-kurangnya telah menjalani 2/3 ( dua pertiga ) masa pidana.
Cuti Menjelang bebas (CMB) adalah proses pembinaan diluar Rutan atau Lembaga Pemasyarakatan bagi Narapidana yang menjalani masa pidana atau sisa masa pidana yang pendek
Jika semua syarat admininstratis dan subtantif terpenuhi, untuk memperolehnya terdapat beberapa persyaratan. Seperti yang terdapat dalam beberapa aturan yang mengatur mengenai Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarata dan Cuti Menjelang Bebas ini, yaitu Permenkumham Nomor 3 tahun 2018 dan Permenkumham Nomor 7 tahun 2022, setelah mekanisme dan prosedurnya terpenuhi maka warga binaan pemasyarakatan tersebut akan bebas, saat keluar dari penjara melalui pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas. sebenarnya status mereka tetap merupakan narapidana. Program integrasi tersebut bisa dicabut saat narapidana itu melakukan kesalahan atau kejahatan.
Tujuan dari pemberian hak integrasi (PB,CB, dan CMB) adalah agar narapidana dapat berinteraksi, menyesuaikan diri dan mengembalikan nilai-nilai pada diri narapidana tersebut sehingga masyarakat dapat menerimanya jika kelak setelah selesai menjalani pidana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H