Lihat ke Halaman Asli

BERLEBARAN, BERLIBURAN

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14071552711575823022

Oleh: Rahmat Mustakim*

Liburan, barangkali mewaktu senggang. Sepotong catatan seorang Fransiskus Simon (2008), meneguhkan adanya keraguan: “waktu senggang itu memendam segudang pertanyaan kritis-filosofis, kontroversial, dan enigmatik.”

Agaknya lantas mengernyit dahi, begitu meniliknya. Selama ini, kebanyakan yang tersangkut di kepala, waktu senggang adalah pendek kata: seperti benda cair. Yang alirannya tak pernah malang melintang di benak, berjam-jam. Terus mengalir sampai jauh.

Dalam imajinasi seperti terbayang: menenggak berbotol-botol air mineral yang dingin sehabis letih berolahraga. Bukan perlahan menyeruput kopi yang aduhai, nikmatnya. Bisa dikatakan, daya Marginal Utility-nya hampir mencapai titik yang maksimum, secara perspektif ekonomi. Bila sampai berangka negatif, nilai MU-nya dipastikan turun. Yang berarti, sebentar lagi kita menjemput hari Senin. Katakanlah, waktu senggang yang senantiasa terpopuler itu: dua hari di akhir pekan. Boleh jadi, hal serupa berlaku juga saat cuti serempak di hari raya.

Tak ubahnya Edi, yang tengah mudik. Di masa menjelang lebaran, ia pergi ke Pekalongan, di mana sanak saudara menunggunya. Persiapannya panjang. Di antaranya; dipilihnya kelas bus bertaraf eksekutif, menjinjing kamera beresolusi tinggi, membawa uang banyak bila sewaktu mengunjungi tempat wisata di sana, dan lainnya. Jika sudah begini, motif yang berkeinginan untuk bertatap muka dengan keluarga di kampung halaman, tak langsung jadi dinomorduakan.

Demi istilah yang “sekalian”, Edi seperti tak mau mencecer waktu. Demikian ia bertingkah, keberangkatannya yang mirip dengan berekreasi.

Soal rekreasi sendiri, ialah kehendak yang sebagian dari kita ingini. Selagi, tak terhimpit oleh kungkungan rutinitas. Artinya, penimbulan momen yang jarang terjadi seperti lebaran, dapat membebaskan diri dari tindakan keseharian: bekerja dan masuk sekolah. Meski nyatanya, Edi mengakui dirinya bahwa ia akan mengentaskan aktivitas mudik, yang terutama.

Yang tidak berkampung halaman apalagi. Ruang-ruang eksternal yang masih dalam kotanya sendiri pasti dikoyak-koyak. Tempat makan, tempat berbelanja, tempat wisata alam, dst. Pada ketentuan sejauh Giddens (1990), membedakan ruang dan tempat dalam konteks kehadiran-ketidakhadiran, di mana “tempat ditandai oleh hubungan tatap muka.” Sementara berselancar di dunia maya, demikian Giddens katakan, begitulah “ruang ditandai dengan relasi antar lisan yang absen.” Keduanya seolah menjelma pelarian dari lingkaran keseharian yang membosan itu, berturut Senin–Jumat.

Lantas, cerita Simon masih berlanjut. Katanya, waktu senggang mesti membuah reflektif dan kita dirangkul untuk berkontemplasi diri, seharusnya. Sebab dari situlah, ia katakan;

“...Berwaktu senggang dianggap menumbuhkan peluang bagi kebudayaan untuk menajamkan kembali totalitas yang retak, meradikalkan keunikan dan sejumlah ketidakjelasan yang terpola. Dengan waktu senggang, sang agen memiliki peluang untuk merumuskan penalaran-penalaran baru, mengasah daya abstraksi untuk menajamkan intuisi untuk melancarkan proses pertukaran, pengaruh-mempengaruhi, difusi, transformasi, transmisi. Baik dilakukan secara sadar maupun tidak...”

Selepas itu, jangan (lagi) berkebiasaan mangkir. Jadwal pensiunmu kelak menanti, Ed.

4 Juli 2014

*mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta. Kepala Divisi Penulisan LKM UNJ. Kontak dan saran bisa dihubungi lewat email: rahmatmustakim@rocketmail.com.

Bacaan pembantu:


  • Barker, Chris. 2009. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana
  • Simon, Fransiskus. 2008. Kebudayaan dan Waktu Senggang. Jakarta: Jala Sutra




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline