Bila ternyata tulisan ini diluar kadar ilmiah nan objektif. Maka tulisan ini hanyalah satu bentuk eksplorasi pemikiran spekulatif bila tak dibilang vulgar. Hanya semacam dongeng untuk menghibur diri dari kekangan paksa akibat Covid-19. Okelah kita sudahi basa-basi.
Pembicaraan mengenai dunia romantisme seringkali didikte menjadi dunia yang ekslusif dan subjektif. Ekslusif karena orang beranggapan bahwa itu ruang privat yang diluar campur tangan orang lain. Walaupun secara tak sadar ternyata komunikasi kita di media sosial diawasi oleh operator terkecuali mereka yang melakukan komunikasi batin. Dan beranggapan dunia romantisme adalah persoalan subjektif itu tidak terlalu tepat juga karena bagaimanapun hukum silogisme sudah menjadi hal aksiomatik dalam alam bawah sadarnya manusia.
Terkait dengan silogisme diatas, coba direnungkan sejenak (asal jangan menkhayal) ternyata selama ini kita menipu diri dengan mengatakan bahwa "saya mencintaimu apa adanya". Pernyataan itu seakan-akan menunjukkan bahwa persoalan romantisme tidak membutuhkan alasan untuk mencintai. Itu retorika yang menggoda sekaligus menipu. Didunia ini tiada manusia satu pun yang yang mencintai karena "apa adanya" melainkan "ada apanya". Walaupun premis yang dibangun sangatlah variatif dengan berbagai derivasi argumentasi.
Oleh karena itu, upaya ( jika perihal itu benar) melacak dunia romantisme dari "ada apanya" untuk dijadikan salah satu senjata peleburan strata sosial yang kian hari mengalami disparitas sosial. Sehingga dalam tulisan ini secara implisit langsung mendefinisikan dirinya dalam kajian sosial.
Kerangka Teoritis
Ini bukan sesuatu hal yang baru, dalam kajian ilmu sosial kontemporer sudah banyak yang mendiagnosa masalah sosial dengan berbagai interdisiplinerpengetahuan. Sudah banyak ilmuwan sosial yang membedah tubuh dalam masyarakat dan menemukan patologi struktur sosial yang tak seimbang. Seperti sesepuh sosialis ilmiah Karl Hendrich Marx yang menemukan penyakit kronis dalam struktur masyarakat kapitalisme.
Dan sebagaimana Ilmuwan yang handal, Ia (baca; Marx) tak hanya sekedar membedah melainkan menemukan obat penawarnya walaupun tak semujarab. Nantinya semangat keilmiahannya dilanjutkan oleh Mazhab Frankfurt dengan interpretasi dari berbagai sudut pandang keilmuan untuk melihat patologi sosial tersebut. Lahirlah tokoh-tokoh tak kalah kaliber seperti Herbert Marcus dan Erich Fromm yang mengeksplorasi gagasan psikologi Sigmund Freud dengan Marxisme Ilmiah Marx. Kompilasi tersebut merupakan pengayaan sudut pandang untuk membedah dan menawarkan obat yang mujarab (walaupun tak semustajab) dalam menangani kronis di tubuh masyarakat kapitalisme.
Untuk memperjelas dasar teoritis agar sesuai dengan judul yang dibicarakan maka saya memplagiat usaha yang pernah dirintis oleh Madzhab Frankfurt. Dalam artian berijtihad mensiasati pandangan romantisme sebagai kanal peleburan strata salam struktur sosial khususnya masyarakat kapitalisme yang masih bertahan di zaman post-modernisme.
Kapitalisme Di zaman Post-modernisme
Wajah kapitalisme selalu memiliki tabiat klasik yaitu eksploitatif. Dikatakan tabiat karena didalam tubuh kapitalisme punya struktur anatomi yang sedemikian rupa menghendaki sistem yang tak seimbang. Karena itulah kapitalisme mampu mendapatkan keseimbangan dalam sistemnya dan bertahan sampai saat ini. Jadi eksploitasi yang merupakan ketidakseimbangan nilai maupun sistem itu merupakan imun diri pada tubuh kapitalisme untuk bertahan dan menjaga keseimbangan dirinya.
Marx jauh-jauh hari meramalkan bahwa "kapitalisme akan mengalami kehancuran dalam tubuhnya sendiri". Nada determinasi itu sudah banyak disanggah oleh kritikus sosial. Dan begitulah seyogianya, sehingga Marx sendiri menempatkan teori sosialnya sebagai teori yang ilmiah. Ini merupakan warisan pengetahuan yang penuh kerendahan hati membuka ruang untuk dianalisa lebih jauh walaupun kritikan tak bisa dihindari.