Sudah tidak asing lagi ketika mendengar ‘Mahasiswa’, dan jangan sekali – kali melupakan sejarah. Dalam catatan sejarah, mahasiswa merupakan salah satu aktor utama penggerak perjuangan nasional. Kala itu mahasiswa menjadi penyeimbang gejolak pemerintah yang diktator dan semena – mena. Kok mahasiswa seakan istemewa? Mahasiswa merupakan sosok figur yang berjiwa muda. Muda dalam arti memiliki semangat tinggi dalam berjuang, tak segan mengkritik bahkan sampai kesal kala mendengar hal yang tidak ideal. Mahasiswa memiliki rasa kepengetahuan tinggi serta sikap kritis terhadap kondisi sekitar. Mahasiswa memiliki peranan penting terutama sebagai agen perubahan.
Namun sekarang seakan memudar, dahulu mahasiswa menjadi ancaman bagi birokrasi yang menyimpang. Mahasiswa cenderung mengikuti arus kemauan birokrasi, banyak organisasi yang tidak lagi berjalan semestinya. Organisasi hanya memikirkan program kerja, setelah program kerja tersebut selesai ya selesai juga begitu setiap tahun, juga terdapat anggota yang tidak konsisten atau konsekuen terhadap komitmen yang telah dijanjikan, tak lain suatu organisasi juga hanya memandang sebelah dari aspirasi masyarakat luar yang masuk. Apakah penyebabnya? Salah satu penyebabnya seolah terdapat dua kubu yang bertolak belakang, yaitu mahasiswa aktivis (yang katanya idealis) dan mahasiswa apatis (yang katanya acuh tak acuh). Apakah mahasiswa yang mengkotak – kotakkan sendiri? Bahkan pada kenyataannya antara kubu a dengan b saling membicarakan kubu lainnya. A mengatakan b tidak menyadari peran mahasiswa yang sesungguhnya, tidak peka terhadap sekitar dsb. Di lain sudut b mengatakan a adalah orang – orang yang sok sibuk, mencari ketenaran, dan sok pahlawan. Sepenuhnya dilematika itu tidak bisa hanya menyalahkan satu sisi (mahasiswa). Tetapi, mahasiswa memiliki peran sebagai agen perubahan. Sudah seharusnya mulai berpikir secara ideal serta kritis, kemudian bisa mengaspirasikannya melalui pergerakan. Simbol pergerakan mahasiswa adalah aksi. Namun, pergerakan itu luas tidak hanya sekedar aksi, kalaupun ingin berdemonstrasi harus di dukung dengan data serta bukti yang dapat di pertanggungjawabkan. Diskusi, menulis, serta kegiatan sosial juga merupakan bagian dari pergerakan. Mendiskusikan permasalahan yang ada, setelah itu harus membuka forum agar masyarakat tau. Forum ini juga bisa melalui tulisan – tulisan yang mengkritik dan memberikan solusi kepada pemegang kekuasaan di berbagai media. Tetapi, untuk mempermudah itu mahasiswa juga harus membangun jaringan – jaringan terhadap pemegang kekuasaan.
Sudah selayaknya mahasiswa berpikir positif terhadap sesama. Tidak ada mahasiswa apatis, atau mahasiswa aktivis yang ada hanyalah ‘Mahasiswa’. Seharusnya antara kelompok satu dengan lainnya saling berkolaborasi, bersatu, saling mempercayai, saling mengingatkan dan bukan sebaliknya. Mahasiswa di tuntut untuk berkontribusi, kontribusi mempunyai banyak sisi. Kontribusi yang paling mudah adalah peduli. Pemikiran antara individu satu dengan lainnya berbeda, tetapi mahasiswa memiliki peranan salah satunya adalah agen perubahan. Karena itu mahasiswa diharuskan peduli terhadap pergeseran dan permasalahan yang cepat berkembang. Yang terpenting adalah membenahi diri sendiri dahulu kemudian orang lain. Karena cara termudah untuk menggerakkan orang lain adalah kita bergerak dahulu. Tidakkah ingin tinta emas yang di catatkan mahasiswa terdahulu kembali terulang? Masih inginkah berkubu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H