Lihat ke Halaman Asli

Kowe Kok Ora Sarungan, Nak?

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu Pahing 25 Desenber 2011 | 08.00 WIB ruang tamu di rumah kami sudah ramai di penuhi oleh sanak sauadara dari pihak istriku yang merayakan natal. Tidak  ketinggalan mertuaku yang perempuan. Memang rumah kami adalah tempat berkumpulnya keluarga besar kami apabila ada perayaan hari-hari besar agama. Baik itu hari besar Islam maupun hari-hari besar agama Nasrani. Begitu jugalah pada pagi hari yang khusus bagi kaum kerabat dan saudaraku yang merayakan natal hari ini. Meraka khusus datang dengan tujuan berkumpul dan ingin bertemu dengan sanak keluarga yang sudah jarang bertemu kecuali pada saat-saat seperti saat ini.

Tepat jam 08.00 WIB pagi tadi, saya khusus menunggu dan menemani mereka yang memang biasanya mendatangi rumah kami seperti biasanya mereka lakukan pada setiap ada kesempatan hari khusus, seperti hari ini, seolah-olah keluargaku adalah keluarga yang paling tua di kelompok keluarga kami menurut adat setempat (keluarga istriku yang mayoritas adalah Nasrani) padahal kami adalah anak yang nomor tengah (tidak yang lebih tua maupun tidak yang lebih muda). Semua keluarga kami yang paling tuapun datang berkumpul bersama untuk merayakan hari khusus ini.

Kebersamaan itu amat sangat-sangat terasa ketika berkumpul bersama dengan suasana bercanda diantara satu dengan yang lainnya. Sesama yang hadirpun saling bercanda ria dan ada yang saling saling menyindir, tentunya dengan sindiran yang penuh gelak tawa karena bercanda. Yang paling sering melontarkan candaannya adalah mertua saya yang perempuan, yang memang sudah menjanda ditinggal mertua lelaki sejak beberapa tahun yal.

“Kowe kok ora nganggo sarung, nak? pertanyaan itu terlontar ketika melihat aku yang berpakaian rapi dan bercelana panjang tanpa mengenakan baju koko. Yang biasanya apabila ada suasana perayaan hari besar agama yang aku anut, senantiasa aku memakai sarung, berbaju Koko, berpecis, dan menyandang sajadah di bahu. Namun kali ini aku tanpa menyandang sajadah karena memang belum waktunya untuk shalat zuhur.

Mendengar candaan ibu mertua saya tersebut, maka semua yang hadir tertawa serempak dan menimpali dengan guyonan-guyonan yang akrab, sehingga terasa suasana perayaan yang sangat berarti di hati kami masing-masing.

Di dalam hati, aku berucap syukur kehadirat Allah SWT karena Dia telah memberikan sebuah kenikmatan dan keakraban yang indah seperti yang aku rasakan saat ini. Dimana beberapa puluh tahun yang lalu kenikmatan dan keakraban yang seperti ini adalah hal yang sangat langka aku dapatkan, karena (dulu) diantara beberapa keluarga dari pihak kami, memang ada pihak-pihak yang tidak merestui pernikahanku dengan istriku yang saat itu ingin menjadi seorang muallaf (padahal istriku sudah muallaf sejak dua [2] tahun di masa kami masih pacaran tanpa sepengetahuan pihak keluarganya), kami yang mendapat banyak rintangan yang penuh tantangan dari berbagai pihak, termasuk dari pihak keluargaku nun yang jauh disana. Namun, saat ini sudah sangat berubah, dan aku bersyukur dengan keadaan yang seperti saat ini. Seiring dengan berjalannya waktu, keadaannya sudah berbeda 180 derajat dengan keadaan beberapa belas tahun yang lalu.

Dengan berucap syukur dan terimakasih kepada yang Maha Kuasa, kehidupan keluargaku saat ini sangat rukun dan berbahagia dalam menjalani hidup maupun melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang dianut masing-masing, serta saling hormat menghormati antar sesamanya. Bahkan saling memperingatkan diantaranya apabila salah satu dari keluarga ada yang lalai dalam menjalankan ibadah masing-masing.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengucapkan SELAMAT NATAL kepada saudara-saudaraku yang merayakan. Semoga dengan perayaan natal kali ini membawa kebahagiaan tersendiri bagi kita semua. Damai di hati dan damai di bumi. Saling toleransi antara sesama keluarga yang merayakan maupun keluarga yang tidak merayakan.

Saya berbahagia memiliki keluarga kecil yang saling menghargai.

..........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline