Lihat ke Halaman Asli

ramlan majid

birokrat dan penulis lepas

Momentum G20, Momentum Kemerdekaan Ekonomi Indonesia

Diperbarui: 27 Juli 2022   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi China. Dalam sejumlah analisis tentang ekonomi China, hampir semua sependapat bahwa Chinalah satu-satunya Negara non Eropa-Amerika  yang berhasil membuktikan ampuhnya “kedaulatan domestik" melawan nafsu “oligarki-kapitalis”. Jurnal SEEJE (2016) mengungkap munculnya China sebagai salah satu negara perdagangan terbesar di dunia, baik pertanian maupun non pertanian tidak terlepas dari kebijakan strategis jangka panjangnya dalam hal impor-ekspor.  Sejak 1979, China konsisten dengan “perdagangan pemrosesan” dengan hanya lebih banyak mengimpor bahan baku dan memrosesnya menjadi bahan jadi untuk kemudian diekspor ke berbagai Negara. Kebijakan ini melahirkan keseimbangan berkepanjangan antara tuntutan kebutuhan dalam negeri dengan profit internasional jangka panjang bagi Negara dengan populasi terbesar di dunia itu. Nyatanya, sampai kini China telah sejajar dengan Negara maju Eropa dan Amerika. Bahkan lebih adidaya. .  

Menarik untuk menggaungkan kembali  pernyataan Presiden Joko Widodo yang relevan dengan situasi China di atas. Dalam sambutannya di hadapan para kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) beberapa waktu lalu, Joko Widodo mengungkapkan  bahwa mulai tahun depan (2023) kita akan menghentikan segala jenis ekspor non material mulai dari nikel, bauksit, tembaga, timah, dan emas. Penghentian ini dimaksudkan untuk menutupi defisit dalam negeri sekaligus memproduksi bahan material berkualitas ekspor yang lebih berdayasaing. Kebijakan ini diyakini akan berdampak positif terhadap  peningkatan Gross Domestic Bruto hingga tiga kali lipat pada tahun 2030.  “Kita harus memiliki keberanian”, kuncinya. Keberanian dalam memulai menimbang risiko terhadap apa yang disebut oleh Guru Besar Ekonomi Universitas Hasanuddin, Prof. Idrus Taba, sebagai strategi energi jangka panjang daripada menghitung-hitung keuntungan dari sebuah rente ekonomi yang jangka pendek. Keinginan Presiden Joko Widodo untuk menghentikan semua ekspor barang tambang adalah suatu manifesto ekonomi yang perlu didukung semua pihak, termasuk pelaku ekonomi di bidang ekspor-impor. Efeknya tak main-main, secara matematis, kebijakan ini akan mendongkrak value Gross Domestic Bruto Indonesia hingga ke kisaran 11.000 hingga 15.000 US Dollar dalam dua tahun ke depan. Kita tunggu saja.

Berkaca dari kebijakan bisnis China, tak berlebih jika disebut bahwa semangat nasionalisme ekonomi sebagaimana yang dibangun negara China memiliki prospek sebagai nilai baru dalam menangkap peluang global sebagai Presidensi G20 tahun ini. Sebagai pemegang estafet Presidensi, Indonesia memiliki momentum yang cukup istimewa sebagai Negara ASEAN pertama yang berkewenangan mengendalikan arah kebijakan global menuju iklim perekonomian dunia yang lebih baik.

Momentum Presidensi G20 adalah momentum masa depan Indonsia dengan sejumlah transformasi kebijakan yang lebih berani. Sejarahnya bukan hanya status ke-ketua-an tetapi pada citra dunia internasional terhadap Indonesia di masa depan. Keuntungan jangka pendek sudah pasti di tangan, tinggal saatnya menjamin bahwa semua komitmen dan kesepakatan yang dibangun dalam forum G20 menjadi sesuatu yang mengikat dan bernilai dalam menciptakan perekonomian dunia ke depan. Perekonomian yang dengan serta merta dapat merubah status Negara “Berkembang” Indonesia menjadi Negara “Maju”, minimal di level Asia, dan mengangkat derajat kaum marjinal di kawasan ini.

Bukan hal mudah menerima presidensi di tengah pasca pandemi Covid-19, musim bencana alam dan di tengah konflik internasional. Meskipun berbeda ideologi, namun filosofi bisnis China yang lebih memikirkan kepentingan nasional dan kebutuhan dalam negeri merupakan filosofi bisnis yang sejalan dengan sub-nilai filosofi dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang berlandaskan paham Nasionalisme. Hanya saja, internalisasi dan implementasi yang tidak konsisten adalah unsur pembeda dalam menerapkan sikap dan cara pandang nasionalisme para pelaku dan pemangku kebijakan ekonomi antara kita (Indonesia) dengan China. Sadar atau tidak sadar, ini yang hendak diluruskan oleh Presiden Jokowi dalam beberapa tahun ke depan, walaupun kepemimpinannya berakhir di 2024. Lagipula, belajar dari kesuksesan dan kegagalan Negara lain adalah suatu sikap Negara pembelajar yang bijak. Oleh karena itu, selayaknya kerangka pemikiran yang coba dibangun Joko Widodo bersamaan dengan maneuver internasionalnya atas Rusia-Ukraina dijadikan sebagai manifestasi dari rasa nasionalisme dan internasionalisme segenap rakyat Indonesia. Presidensi G20 adalah presidensi seluruh rakyat Indonesia, bukan ke-ketuaan Presiden RI an sich.

Narasi “pengakuan dan apresiasi” Negara-negara besar seperti yang dikemukakan oleh Moeldoko sebagai alasan penunjukan Indonesia sebagai Presiden G20 tidak terbangun begitu saja melainkan telah melalui proses diplomasi dan negosiasi antar Negara, baik dalam perspektif regional maupun global. Kita berharap pengakuan dan apresiasi ini tidak hanya bersifat formalistik tetapi berdampak jangka panjang bagi perekonomian dunia yang berkelanjutan. Kepresidenan G20 ini dapat mengukir kuat nama Indonesia sebagai Negara ASEAN pertama yang menentukan tonggak kebijakan ekonomi internasional yang memihak Negara-negara “dunia ketiga” (meminjam istilah teori pembangunan klasik). Istilah “dunia ketiga” digunakan karena istilah ini bermuatan ideologis terhadap keberpihakan warga negara yang berada di bawah garis kemiskinan di negara-negara berkembang. Kasta warga dunia yang harus menerima “kue” global dari seluruh kebijakan internasional yang dirumuskan. Peningkatan GDB bukan hanya untuk sebagian kecil golongan kapitalis melainkan peningkatan derajat masyarakat terbelakang dan pemberantasan kemiskinan sejagat.

Oxfam, berdasarkan perkiraan Bank Dunia mencatat sekitar 860 juta penduduk dunia berada di bawah angka kemiskinan ekstrem pada tahun 2021. Sekitar 1,26% atau 10,86 juta di antaranya berada di Indonesia. Hadirnya Presidensi G20 memberikan peluang bagi Indonesia untuk memasukkan sejumlah agenda global yang dianggap mampu berkontribusi terhadap perbaikan taraf ekonomi masyarakat miskin di Indonesia. Setidaknya, dari ke 7 (tujuh) agenda pembahasan G20, terdapat 4 (empat) agenda yang diprediksi berdampak langsung  terhadap penduduk miskin di Indonesia, minimal memberikan pondasi ekonomi baru bagi masyarakat miskin ekstrem hingga jumlahnya dapat ditekan. Keempat agenda tersebut adalah  (1) Koordinasi langkah penarikan stimulus atau exit policy untuk mendukung pemulihan; (2) Mengatasi dampak pandemi  Covid-19 untuk menjaga pertumbuhan; (3) pembiayaan berkelanjutan ; (4) Inklusi keuangan : digital dan UMKM. Agenda pertama dan kedua memiliki sasaran kebijakan yang sama yakni mempertahankan kinerja ekonomi negara berkembang melalui stimulus fiskal negara maju sambil terus mendorong upaya vaksinasi sebagai solusi atas dampak Covid-19 yang berkepanjangan. Agenda pertama dan kedua dapat dimanfaatkan  oleh Indonesia untuk melindungi kinerja fiskal negara dan prospek perdagangan yang kondusif bagi perusahaan-perusahaan negara dan swasta yang banyak berkontribusi terhadap peningkatan kinerja investasi perusahaan-perusahaan mikro.  Perusahaan-perusahaan mikro ini cukup banyak di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja harian yang cukup besar yang terdiri dari kaum buruh. Sementara itu, agenda ketiga dan keempat merupakan agenda yang berupaya melindungi sektor-sektor krusial dan mendasar seperti ketersediaan pangan jangka panjang  dan sumber daya alam hijau bagi masyarakat rentan di negara-negara berkembang. Juga yang tak kalah pentingnya adalah peningkatan kapasitas dan akses usaha bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah agar tetap eksis di tengah digitalisasi global.

            Keseluruhan agenda dan momentum di atas, jika dimanfaatkan dengan  jeli oleh Indonesia dalam forum G20, akan berpengaruh besar terhadap penguatan pondasi ekonomi Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi yang positif dapat berlanjut. Presidensi G20 adalah momentum kemerdekaan ekonomi bagi Indonesia, dan bagi 10,86 juta masyarakat miskin ekstrem. Masyarakat miskin ekstrem tidak berharap uluran langsung dari kelompok ekonomi tertentu. Mereka hanya berharap bahwa lingkungan kehidupan mereka ditopang oleh iklim dunia yang kondusif dan sehat, baik dari segi ekonomi maupun tata kelola sumber daya alamnya, agar tak ada lagi kelaparan, tak ada lagi ketakberdayaan.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline