Lihat ke Halaman Asli

Pada Sebuah Pagi

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13753695301775338019

[caption id="attachment_278893" align="aligncenter" width="406" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com/James JR Suawa) "][/caption]

PADA SEBUAH PAGI

Oleh: Ramdhani Nur

Bagi Karsinah kehidupan itu hanya terjadi ketika nasi dalam periuk masih terisi. Tak ubahnya seperti nyawa. Tak boleh lenyap meski sesaat. Dia selalu meneliti ketersediaannya dari pagi hingga sore. Akibatnya, Karsinah akan sering kali terlihat melongok isi magic com. Jika dianggapnya hanya tersisa tak sampai satu piring, buru-buru dia pergi ke dapur. Mencuci beras lalu menanaknya. Bagaimana pun nasi harus selalu siap tersaji. Karena kehidupan tentu tak boleh mati.

Pada tiap terbitnya hari, Karsinah akan memastikan itu sejak pagi-pagi sekali. Paling telat lewat subuh, Karsinah sudah mulai terlihat tengah mencuci beras. Cipratan air pada beras yang didulang menjadi teman iramanya menyambut terang. Tak ada suara sebising itu selain kokok ayam yang menyusulnya kemudian, sampai bersambut pada terbangunnya penghuni rumah satu-persatu. Diawali Sukardi, suaminya. Selalu saja lelaki itu mencipta gaduh. Berteriak minta disiapkan handuk yang hanya bergantung tak jauh dari sumur. Lalu Asti anak gadisnya bangun terhuyung. Itu pun hasil gedoran Karsinah pada pintu kamarnya. Tiga kali tubuh Karsinah bolak balik antara dapur dan kamar Asti. Memastikan anaknya terbangun dan gorengannya tidak gosong.

Pukul setengah tujuh semua sudah siap. Nasi sudah mengepul dari lubang uap magic com. Tempe goreng dan telur ceplok yang menjadi pilihan teman nasi pagi ini tersaji rapi di meja makan. Minumannya hanya ada segelas kopi panas untuk sang petinggi rumah. Sukardi. Dia baru saja keluar dari kamar tamu. Rapi dengan seragam PNS sebagai sekretaris di kecamatan.

Gelas panas itu dipindahkan Sukardi ke ruang tamu, sambil sesekali dicicip pekatnya. “Masih molor saja Si Aris jam segini?” Itu anak lelaki tertua mereka. Karsinah mengerti bahwa memulai hari dengan membicarakan Aris hanya membuatnya lebih banyak mendehem. Sukardi terlanjur geram. Anak lelaki yang begitu dia jago-jagokan dua puluh tahun lalu itu, kini lebih senang membuatnya meradang. Mungkin karena tubuh yang juga berisi pikiran-pikiran bebas itu sudah pula sekuat bapaknya. Kadang Karsinah hanya mampu menyudut, memeriksa sayuran dalam kulkas saat pikiran-pikiran itu lantang bertabrakan. Kombinasi antara kol dengan tahu atau kacang panjang dengan ikan teri, lebih menarik perhatiannya untuk dipadukan nantinya dengan nasi putih hangat. Sementara pagi, hanya akan menjadi riuh setelahnya.

“Semalam dia pulang jam dua, Pak!”

“Dari mana lagi? Begadang? Kebiasaan betul!”

“Bengkel seninya.”

“Bengkel seni apanya? Kumpulan orang edan semua! Mau jadi apa anak itu. Susah-susah dimasukin kuliah malah ditinggal. Apa dia nggak mikir gimana pontang-pantingnya orang tua nyari duit buat nguliahin dia dulu? Sekarang kerjaannya apa? Serba nggak jelas.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline