Ada Cinta antara Tomcat dan Taman Baca Mahanani
Oleh: Ramdhani Nur
[caption id="attachment_179406" align="aligncenter" width="300" caption=""][/caption]
“Cieeeh …!”
Itu koor memang berasal dari anak-anak yang baru pulang sekolah. Berpapasan dengan seorang lelaki kurus ketika hendak keluar dari ruang Taman Baca Mahanani. Perlente. Bahkan rambut gondrong yang menjelaskan kepribadiannya yang bebas, sudah dia tebas. Kemeja flannel masa sekolahnya hampir sepuluh tahun lalu tetap tampak rapi saat dimasukkan ke dalam celana jins yang kali ini mulus disetrika. Sepatu kets (yang sesungguhnya) berwarna putih, dipaksakan masuk pada sepasang kaki hitamnya. Terasa agak sempit, terutama karena kaus kaki pink sudah pula diselubungkannya. Kaca mata hitam …. Nah, ini yang tidak ada. Padahal sebelum-sebelumnya, jika ada keperluan pribadi matanya itu tak pernah lepas dari lensa gelap palsu. Bukan karena kepingin bergaya, tapi dengan cara itu dia selalu berhasil melirik setiap perempuan tanpa perlu menuai kecurigaan. Pasti kali ini keperluannya sangat serius. Anak-anak yang bergerombol hendak masuk ke ruang Taman Baca Mahanani pun pasti berpikir begitu.
“Mau ngapel, Om?” celetuk Husen murid kelas lima.
“Hush!” balas yang disapa. Kibasan pada kemejanya mengakhiri prosesi pengecekan kesempurnaan tampilannya sebelum dia benar-benar beranjak ke luar ruang.
“Ngapel kok siang-siang?” tambah Niken teman sekelas Husen.
“Anak kecil mau tau aja urusan orang tua,” sulut lelaki perlente itu. “Emang kalo tampil rapi begini mesti mau pergi ngapel? Ndak mesti tho! ”
“Urusan orang tua itu rahasia!” tambah si kecil Pingkan.