Lihat ke Halaman Asli

Terhukum

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Silakan buka mata, kamu tak akan leluasa melihat apa-apa."

Tak sampai sepuluh detik gertakan itu menghilang, suara gebrakan pintu menyusul menghentak telinga. Kemudian hening. Saya tak bisa melihat apa-apa. sukar sekali membuka kain penutup mata dengan tangan terikat di belakang punggung. Tarikan nafas panjang saya tak menyadarkan apapun atas segala yang terjadi sampai saya tersudut di ruangan ini. Sama sekali tak bisa dimengerti. Otak yang saya paksa mengingat keras-keras, hanya berujung pada situasi pada malam sebelum tidur. Saya hanya ingat saat memadamkan lampu kamar dan menarik selimut lalu segera tertidur. Itu saja. Kemudian segalanya berubah menjadi seperti ini.

“Hei, yang di sana!”

Ah, siapa itu? Suaranya seperti datang dari arah kiri belakangku. Laki-laki kupikir. Ternyata aku tak sendiri di sini.

“Hei, menyahutlah!”

“Ya…” Ah, keluar juga suara parau saya.

“Kau korban juga ya?”

Saya tak begitu mengerti dengan kata korban yang dia maksud, bisa jadi iya. Sepertinya dia lebih tahu dari saya. “Mungkin. Anda siapa?”

“Bergeserlah kemari, biar kubukakan ikat matamu!”

Saya menurut saja. Kaki saya sebenarnya juga terikat, namun tak seketat yang menjalin di lengan. Itu sebabnya saya lebih leluasa menyeret pantat saya mengarah ke kebelakang. Tak sampai tiga meter sepertinya, kaki saya tiba-tiba menyentuh tubuh lain.

“Cukup di situ!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline