Lihat ke Halaman Asli

Gadis yang Menangis dalam Gerimis

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gerimis

I love walking in the rain...
So people dont recognize that actually i'm crying...

Gadis itu bernama Dea. Lelaki yang kemudian mengejarnya adalah Ken. Cinta yang jadi muasalnya. Ditemukan, dibagikan, kemudian dipertanyakan. Trotoir menyepi terbungkus gelap. Gerimis memenjara malam dalam dingin. Dea dan Ken akan menaruh cinta. Sebagai esok atau kemarin.

"Kau ingin aku berekspresi apa, Ken? Tangisku sama buntunya dengan amarah. Semua memang ada di hati. Tapi seperti kau lihat, aku tak bisa menunjukkan itu padamu. Jadi jangan memaksaku lagi untuk satu hal seperti ini!"

"Kau tahu aku sangat menyesal..."

Di hamparan petak bebatu trotoir yang basah Dea pasrah terus dikuntit Ken. Sejak dari dalam cafe tadi Dea tahu luka dari Ken adalah sebuah pengakhiran. Ken tak mengerti, cinta tak bisa ditawar. Dia lebih berharga di atas perjodohan adat. Ken Chaniago dan Lolita Hapsari, adalah nama-nama yang sudah tertera dalam buku suratan para leluhur kampung. Sementara seperti cinta, nama Deazlina seperti tak berhurup untuk dituliskan pada lembar takdir apapun.

"Cinta ini sebenarnya tak pernah ada, dan duka di mataku tak pernah sesederhana seperti lukisan luka yang senang kau gambarkan di setiaku. Kau mengerti? Jadi semua ini tak perlu berubah menjadi penyesalan."

Dea tak sungguh menangis. Bulan Mei saat matahari masih berupa terik, Dea pernah benar-benar menangis. Ken menghadiahi cinta tepat di usianya yang ke dua puluh. Dea tak menuntut apa-apa, cinta - jika itu benar perwujudan dari kesejatian - akan tetap membara tanpa melukai. Dea terlanjur percaya itu, sampai suatu saat ketika matahari Desember lebih sering sembunyi.

"Kau boleh salahkan takdir, Tuhan, orang tuamu, orang tuanya, toh semua sudah terjadi. Undangan telah tersebar, seperti katamu. Kau sendiri tak tahu dimana aku bertempat di antara semua kesalahan itu. Dan kau pun tak mesti peduli dimana akhirnya aku mesti berakhir."

"Dea, maafkan aku..."

"Berhagialah, Ken! Secepat kau menghapus gambaranku, secepat itulah waktu mengobatiku."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline