Putri selalu menanam pohon di siang hari dan memainkan lagu dengan iringan cello di malamnya saat dia menganggap ada sesuatu yang istimewa yang menimpa hidupnya di hari itu. Seperti hari ini dia baru saja menanam bunga soka di depan jendela kamarnya. Pohon bunga kecil yang siap berbunga. Merah tua dan kekuning-kuningan. “Aku juga akan memainkan sebuah lagu untukmu nanti malam,” katanya. Dan satu senyuman menyudahi prosesi penamanan di siang itu. Putri lalu membawa badannya yang terbalut gaun putih menjuntai masuk ke dalam rumah. Jadi apa hal istimewa yang menimpanya hari ini? “Pangeran baru saja datang tadi pagi!” girangnya membuncah. “Memang bukan pangeran yang pernah kutemui dulu. Tapi dia tetaplah pangeran.” Ya, kedatangan seorang pangeran memang satu hal yang sangat istimewa, terutama untuknya. Putri dan Pangeran. Sebuah pasangan yang sempurna dalam kesempurnaan hidupnya juga. Pangeran bagi sang putri dalam filosofi dongeng manapun adalah instrumen kebahagian. Pahlawan dan malaikat yang selalu datang disaat yang tepat. Putri tersenyum-senyum jika harus mengingatnya. “Ini bukan dongeng! Aku sedang tidak berada di dunia dongeng. Pangeran itu nyata, aku pun nyata. Dan aku mengharapkan segala yang mungkin terjadi kemudian adalah nyata pula.” Pandangannya melekat pada sebuah cermin setelah selesai merapihkan rambutnya. ”Tidak percayakah jika dongeng pun itu bisa menjadi nyata?” Kemudian dia melongkok keluar melalui jendela kamarnya. Pohon-pohon menjulang di depannya. Bunga-bunga berwarna-warni, rerumputan yang menghijau menentaramkan pandangannya. Begitu banyaknya. “Lihatlah….! Betapa istimewanya hari-hariku selama ini!" Beberapa burung baru saja terbang saat kata-katanya terucap. “Itu bunga matahari yang aku tanam dulu. Bunga Pangeranku. Pangeran masalaluku," Putri tersenym renyah. Seolah kenangan bisa dia kunyah dengan mudah. “Akan lebih baik jika aku tempatkan dia di bawah tembok itu. Biar aku tidak harus terus melihatnya.” Matanya kemudian melirik pada pohon mawar yang tetap kusam. Dan mulai mengingat-ingat lagi kapan dia pernah menanam pohon itu. Tapi ini jelas memang mawar tentang seorang lelaki. Oh, iya! Ini mawar Ksatria itu...! Kadang keistimewaan bisa menyakitkan juga, seperti halnya ksatria itu. Dia pernah menyelamatkannya dari helaan binatang buas untuk kemudian melemparkannya ke dalam jurang. Untungnya semua sudah berlalu. Banyak kisah pahit yang diceritakan tanaman-tanaman itu hanya bersisa sebagai kenangan. Satu senyum kecil menutup lamunannya. Senja menjadi gelap. Dan seperti pergantian malam yang sudah-sudah, batas cahaya ini menghantarkan kisah siangnya itu pada sebuah dongeng malam yang ingin dia atur sendiri alurnya. Pada langit, gelap meliukkan waktu ke kedalaman syahdu yang menyayat saat alunan cello memenuhi kamar sang Putri. Beginilah Putri menyampaikan pesan rindunya. Pelukan pada cello, dan tarian jemari yang lembut pada dawainya tak dirasa sebagai hayal. Putri tengah bercumbu dengan pangeran yang baru ditemuinya pagi tadi. Tiga lagu sudah dia mainkan. ”Semoga dia menyukainya!” Matanya kemudian kosong menatap jendela. “Oh, andai aku menanyakan lagu kesukaannya...” Cello itu kemudian bernyanyi kembali. Membuaikan lagu yang menutup kenangan pahit masa lalu, harapan indah yang terbuka dan satu kisah yang akan dimulainya bersama sang pangeran barunya. Lagu yang membuatnya merasakan kembali nikmat satu kecupan mesra di bibir tadi pagi. Gesekannya yang kian menggegar menumpahkan semua letupan rasa yang mungkin dirasakan semua putri di manapun saat bertemu pangeran yang diimpikannya. Getarannya kemudian seperti merayap menuju jendela, jalan-jalan, gang-gang di kota, terus menuju hutan, melewati gunung, menyusuri jembatan kecil, menembus salah satu pintu istana dan mengetuk lembut tepat di jendela kamar sang pengeran. Cello itu pun kemudian berbicara. “Datanglah kemari Pangeranku… aku membutuhkanmu!” Cello yang kemudian berdenting-denting itu berhasil menggiring sang pangeran yang masih terlelap, hadir ditempat tidur sang Putri. Pulas, damai dan teduh. Pangeran yang sempurna dalam kesempurnaan hidupnya tertidur disampingnya. “Aku meninginkanmu di sini selamanya." Putri lalu mencium pangerannya. Seketika segalanya berhenti. Jam dinding berbunyi berkali-kali. Cello bisu bersuara. Senyap berdentum tiba-tiba. Kosong saja yang tampak di kamar itu. Putri lalu menarik laci mejanya, mengambil beberapa obat dan meminumnya. “Ah, andai aku tidak harus selalu meminumnya.” Hari istimewa ini akan berakhir. Seperti cello yang terbungkus dalam tempatnya, dan putri yang kemudian meringkuk dingin di atas ranjang. *** Cirebon, Januari 2008 Nemu cerpen lama Sumber gambar: www.s17.photobucket.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H