Lihat ke Halaman Asli

Misteri Kutang di Dalam Mobil (2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kutang

Pukul 5 lewat 12, saya belum berencana untuk pulang. Ancaman istri saya masih saja terngiang-ngiang. Sial! Saya harus segera melakukan rencana-rencana. Sudah saya pikirkan sebenarnya sejak siang tadi, tapi selalu kandas saat memulakan aksi. Salah satu idenya adalah saya akan memaksa Hendra dan Ismi mengaku telah berbuat tak senonoh di mobil saya. Ariel dan Luna bisa saya korbankan sebagai penyulut sumbu mesum pada pijar asmara antara keduanya. Kalau masih tak percaya juga, sekalian saja saya paksa mereka melakukan rekonstruksi kejadian. Full tanpa sensor. Mantap bukan? Cuma rasanya kok keterlaluan ya. Selain karena mereka memang tak melakukannya, istri saya tak akan mungkin membiarkan saya sedetik saja mencuri kegembiraan mata pada kutang yang masih terpasang merangsang. Jadi tak mungkin saya menggunakan ide ini. Saran Kusumo lebih mustahil lagi, masak saya yang harus dipaksa mengaku bermain-main dengan kutangnya Ismi? Rugi dong kalau itu hanya sebuah rekayasa pura-pura. Ah, maksudnya buat apa saya menggadaikan resiko diri dan orang lain demi sebuah kejujuran palsu. Meski toh, kata Kusumo istri saya cuma ingin mengetahui pemilik kutang ini, itu saja. Selanjutnya saya bisa meminta maaf habis-habisnya sambil mengelus-elus manja telapak kaki istri saya. Tak mungkin. **** "Mam...!" "Eh, kok masih berani nelpon sih? Mami bilang apa? Jangan pulang kalau belum bisa ngasih penjelasan! Kalau sudah punya, nggak usah nelpon lagi! Langsung bilang ke mami!" "A...anuu..., aku mau tanya..." "Apa?" "Si Manik sudah pake kutang belum?" "Hah!!! Papiii...!" "Euh, anu kali aja...dia itu..." "Manik masih dua belas tahun! Kalau dia sudah pake kutang pasti mami sudah minta tambahan budget ke papi untuk dia. Dan percayalah! Kalau sudah tiba masanya, bukan cuma kutang yang dia butuhkan!" "Jadi...bukan..." "Bukan!!! Dan jangan mencari-cari alasan yang tak masuk akal untuk menutupi perbuatanmu!" Tut tut tut! Bagus! Tertutup sudah harapan saya pada perkara mula kutang ini berasal. Sampai hal-hal muskil yang berawal dari kata 'siapa tahu' pun sudah tak lagi memiliki harapan. Termasuk soal Manik tadi. Ya ya anak dua belas tahun memang belum terlalu membutuhkan kutang. Apalagi jadi tertuduh sebagai penyelinap kutang ke dalam mobil. Ah, sungguh mentok pikiran saya. Intinya saya sudah kehilangan akal mencari alasan yang masuk akal. Jika akal sudah menyerah bekerja yang muncul adalah pikiran-pikiran edan. Karena sepintas saya berniat menyewa perempuan untuk berpura-pura menjadi pemilik kutang ini. Kalau perlu, banci pun tak masalah, asal masalah saya ikut pecah. Untungnya saya belum edan betul. Rencana yang begini pasti malah mengundang masalah baru. Tak perlu dibayangkan, pasti ujungnya bakal runyam. Lalu harus saya cari di mana pemilik kutang ini? Karena sebelum mengetahui keberadaannya, saya harus benar-benar tahu dulu siapa pemilik kutang ini. Itu sama sulitnya dengan mengetahui bagaimana mengidentifikasi pemiliknya dengan bukti kutang ini. Masak mau mengepas-paskan ukuran kutangnya pada setiap perempuan yang saya curigai. Percayalah itu bisa mengundang bahaya mental dan fisik. Setidak-tidaknya kalau tidak dianggap kurang waras, ya kurang ajar. Plus curahan makian dan kemudian ditutup dengan cap lima jari di pipi. Tak bakal! Tapi saya punya cara dan sangat layak dicoba, meski tak jelas bisa bekerja atau tidak. Saya menganggap kutang serupa narkoba. Tersembunyi tapi ada. Dia meninggalkan bekas dan aroma yang bisa dideteksi dan ditelusuri. Diperlukan seekor anjing pelacak untuk menyergap narkoba dan pelakunya. Untuk kutang, biarkan saya jadi pengendus dimana biasanya kutang itu bergantung. Tinggal pastikan hand body atau splash cologne apa yang tersisa pada kutang bersejarah ini. Dari situ saya baru bisa melanjutkan penelusuran. Ini juga berlaku untuk kutang ini. Segera saja saya mengeluarkannya dari dalam tas. Khawatir jika terlalu lama dibiarkan aroma pada kutang itu akan hilang, atau bercampur dengan wewangi lain karena seringnya tersentuh. Pasti akan percuma. Saya balikan kutang krem ini telentang hingga bagian cup-nya tertelungkup ke dalam. Fokus dan konsentrasi. Ya! Kini saatnya saya menghirup aroma kutang ini dalam-dalam. Satu dua tiga! "Ehm, lagi horny ya Pak?" Byar! Konsentrasi saya buyar! Kutang berhenti saya ciumi. "Percuma, Pak! Dimana-mana isi lebih enak dari pada bungkusnya hahaha...!" Sial! Dari mana dia datangnya? Kenapa tepat sekali pada saat saya sedang bergumul dengan kutang. "Butuh isinya? Nanti saya carikan!" "Saya sudah punya isinya, cuma lagi ngga dibawa!" ketus saya. Dia itu Tjondro, bagian Pemeliharan. Saya tak terlalu dekat, tapi saya kenal betul. Orangnya tidak lurus tapi tidak mau disebut bengkok. Kalem, lembut tapi membuai. Tentu itu berlaku pada pegawai perempuan yang sering diajaknya makan siang. Saya tidak terlalu menyukainya, dan itu bukan berarti karena saya kesal tidak pernah diajak makan siang. “Punya istri?” liriknya pada kutang ini setelah tanpa diundang dia duduk di samping saya. “Mantap juga!” Benar kan! “Tahu nggak, kutangpun punya filosofinya!” Ah, ini lagi…Apa-apa baginya selalu ada filosofi. Resluiting, stocking, pingping…apa lagi? “Dia mengemban tugas suci, demi kesehatan dan keindahan mereka siap bertugas tanpa harus memamerkan jasa di depan orang. Bayangkan jika kutang menuntut pamer atas jasanya selama ini?” Apa-apan ini. “Lalu atas nama cinta dan gelora syahwati manusia dia rela dicampakan dan dibuang seolah seperti benda yang tak berharga dan mengganggu. ” Ya, ampun! "Hebat bukan?" Bodohnya, saya terlanjur mengangguk. Okelah, jika pun itu benar tapi justru kutang ini sudah membawa masalah besar buat saya. Lalu dalam kesungkanan yang teramat sangat saya jelaskan juga padanya sejarah dan konsekuensi atas kehadiran kutang di tangan saya ini. Dia manggut-manggut, menyerapi dan memahami. Bahkan sepertinya dia juga punya solusi. “Begini, bagaimana kalau malam ini kau menginap dan makan malam di tempatku, sambil kita pikirkan jalan keluar tebaiknya. Oke!” Saya tidak oke sebenarnya, tapi kok badan saya nurut juga masuk ke mobilnya dan duduk dengan pasrah. Apakah karena ajakan makan malam itu yang membuat saya jadi manut? Bukan sepertinya. Sesungguhnya semua didasari oleh pikiran saya sudah mentok. Buntu. Persis seperti dasar cup kutang yang tak punya jalan keluar. ***** Bersambung lagi…kapan-kapan Cirebon, 12 Maret 2011 Saya dedikasikan tulisan ini kepada para pemilik pabrik susu; Ma’mar dan Aris Kurniawan yang semalam sudah membuat saya iri untuk memiliki pabrik susu serupa. Sumber foto : www.blogspot.com baca juga kisah sebelumnya Misteri Kutang di dalam Mobil




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline