Lihat ke Halaman Asli

Tak Ada Cinta di Paris #4 (50k)

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

paris

Berbeda dengan semalam, aku sama sekali tak bisa menikmati makanan ini. Terganggu dengn perhatianku padanya. Meski tak lagi banyak yang dia lakukan sekarang. Hanya sesekali memeriksa hand phonenya, memijit tombolnya sana sini. Rautnya tak banyak berubah. Murung dan sendu. Segelas minuman serupa jus, dia biarkan begitu saja di atas meja.

Sejauh ini fokusku masih padanya, membuat erat demi kerat daging tersuap tanpa kusadar. Sayang, aku tak lagi berani mengambil gambarnya. Seorang pria gendut berkumis tebal terduduk di sebelah mejaku sejak beberapa menit lalu. Tak memperhatikan memang, tapi tentu saja akan terlihat mencolok jika aku terus mengoprek kameraku. Padahal itu yang harus kuhindari. Tapi terlambat! Ternyata bukan gerak-gerikku yang memicu perhatian orang, melainkan wajah dan perawakan asiaku. Aku lupa menyadarinya. Si pria itu mendekatkan pandangannya padaku, membuat perhatianku pada si gadis buyar.

"Bonjour!" sapanya.

"Bonjour!" Aku membalas sebisanya.

"Vous etes étranger? Oui?" Bagus! Aku harus menjawab apa? "D'asie? Viétname?"

Ah, aku bisa menerka pertanyaannya, "Indonesia. But sorry, I don't speak French!"

Pria itu melenguh, entah apa yang diucapkannya kemudian. Seperti mencoba berkata-kata dalam bahasa Inggris bercampur Prancis. Namun tak bisa kutangkap dengan jelas ucapannya dengan aksen Perancis yang sangat kental. Aku hanya menjawab seadanya. Bahkan gerak bahuku yang lebih banyak berkomunikasi dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Dari perawakannya aku sendiri tak yakin jika dia asli orang perancis. Berbeda dengan Gustave, kulitnya lebih gelap. Mungkin imigran. Ya, aku ingat cerita Aryani, 30 persen warga Paris adalah imigran. Entah dari Afrika utara atau Vietnam. Sebagian besar tinggal di pinggiran kota. Mereka jadi penopang aktivitas ekonomi di Paris. Beberapa generasi bahkan telah lama tinggal di sana. Pada keturunan terbaru apalagi jika terjadi pernikahan dengan warga lokal, wajah-wajah mereka hampir serupa dengan penduduk asli. Mungkin juga dengan gadis itu. Bisa jadi. Wajahnya yang tak terlalu pucat seperti gadis-gadis Paris yang kutemui sejauh ini ditambah ucapan salam orang Islam yang sempat kudengar tadi, aku bisa menerka dia bukan orang perancis asli. Tunisia, Maroko, ataupun Aljazair siapa tahu!

"Karim!" tersentak aku dari lamunan. Gadis itu memanggil seseorang di dalam. "N'oublies pas de m'appeler s'il te contacte."

"Biensûr!"

"Il fau que je parte," gadis itu beranjak dari kursi. Dikeluarkannya selembar uang, entah berapa. "Merci, Karim. Au revoir!"

"Au revoir, Nasrine!"

Nasrine? Namanyakah? Sangat berbau timur-tengah. Ini makin memperkuat dugaanku. Gadis itu memang keturunan.

Melihat dia sudah beberapa meter beranjak dari tempat duduknya tadi, aku jadi tergesa-gesa menghabiskan sisa makananku. Aku ingin mengetahui kemana dia pergi. Penasaranku padanya belum tuntas. Kuselesaikan saja acara makan siangku saat itu. Kamera aku simpan kembali ke dalam tas. Aku mulai mengikuti arah jejaknya yang tertinggal di trotoir.

*****

Cuplikan dari Chapter IV (yang belum tuntas :D )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline