Lihat ke Halaman Asli

Rantang Tanpa Tutup

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

rantang

Pukul 11 lewat 7. Terlalu awal untuk pulang. Sepi dan kosong. Itulah kondisi rumah yang aku dapati setibaku dari sekolah. Rumah yang cukup besar, tapi terasa tak bernyawa meski dihuni oleh tiga jiwa. Aku meraih pintu depan. Tak terkunci ternyata. Ibu pasti sudah pulang dari menjaga los sayur di pasar. Tapi tak kutemui ibu di dalam. Mungkin sedang beristirahat. Menyahutinya bukanlah kebiasaanku lagi. Tidak sejak tiga tahun lalu. Aku sudah SMU kini. Tak lagi memaksakan diri untuk tetap manja dengan memanggilnya keras-keras. Kedewasaanku menyadari kondisiku yang bukan lagi anak-anak, sejalan dengan sikapku yang mulai mengambil jarak dengan ibu. Entahlah mengapa? Banyak hal dalam hidupku yang baru bisa kupahami kini. Tentang bapak yang harus berpisah dari hidupku, tentang lelaki yang memaksaku memanggilnya ayah. Langkahku terayun menuju kamar. Letaknya paling pojok sebelah kanan dari ruang makan yang aku singgahi. Sambil berlalu, kubuka tutup saji di atas meja. Tak ada apa-apa. Hanya tersaji rantang tanpa tutup berisi dua buah mangga yang sudah dikupas sebagian dan pisau buah yang tersembul di antara keduanya. Ibu belum masak rupanya. "Asih!" sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku. Mataku menoleh lekat menuju sumber suara. Bukan ibu! Tapi ayah! Ternyata dialah yang ada di rumah ini yang membiarkan pintu tak terkuci. Entah dimana ibu. Aku mulai bereaksi berbeda. "Sudah pulang jam segini?" Tak menghiraukan, aku malah balik bertanya. "Kenapa di rumah? Mana ibu?" "Ayah tak enak badan, jadi hari ini tak masuk kerja. Ibumu masih di pasar." Lelaki itu tersenyum sambil mendekatkan langkahnya padaku. Aku ingat senyum itu. Sama persis seperti yang kulihat beberapa malam yang lalu saat dia menyelinap ke dalam kamar. Hal yang kemudian mati-matian ingin kulupa. "Jangan takut, nak! Tolong Ayah, ya?" Badannya makin mendekat. Dua tiga langkah mundurku tetap tak berhasil membuat jarak. * * * Pukul 12 lewat 3. Rumah menjadi ramai. Aku terduduk dikelilingi orang-orang. Ibu menangis histeris. Tak banyak yang mampu kuingat lagi, selain senyum ayah dan pisau yang menyembul dalam rantang tanpa tutup. Cirebon, 1 November 2010 *ini lanjutan kisah sebelumnya Rantang Bersusun Tiga, moga ga bikin penasaran lagi :D **foto diambil dari www.sepedaonthelkebo.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline