Lihat ke Halaman Asli

Kecoa di Kamarku Sangat Menyebalkan!

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kecoa

"Kau pasti sedang bermasalah, ya! Biasanya kau bersemangat sekali mengejar dan mencoba membunuhku." Seekor kecoa berbicara padaku. Dia merayap dan berdiam di atas bantal. Sunutnya bergerak-gerak lincah. Aku sama sekali enggan menanggapi. Aku tak suka pada sikap-sikap yang sok tahu dan peduli. Pada saat ini aku akan menganggap itu semua omong kosong. "Aku mengamatimu berhari-hari. Ada perbedaan yang sangat jelas antara apa yang kulihat hari ini dengan kemarin." Sudah kuduga...kecoa itu memang punya maksud-maksud tersembunyi. Aku lirik sungutnya yang terus menari. Sudah kusiapkan buku tebal jika sewaktu-waktu keadaannya berubah memburuk. "Perpisahan memang menyakitkan. Dan mengetahui alasan dia untuk berpisah itu lebih menyakitkan. Tapi penyangkalan terhadap semua ini, itulah yang paling menyakitkan." Aku tersentak. Hand phone yang sejak tadi kupegang, kuletakkan kasar. Sialan! Aku sama sekali tidak menyukai ucapannya itu. Kecoa itu malah berdiri menantang. Semoga dia tak tahu tangan kananku sebenarnya sudah meraih buku tebal itu. "Seharusnya kau tidak menuduh dia tidak serius denganmu. Bodoh benar! Tugas lelakilah yang membuat sebuah hubungan menjadi serius. Wanita akan menghargai itu...meski keseriusan itu baru terlontar lewat kata-kata. Tapi itulah yang menjadi pengakuannya." Kurang ajar. Semakin berani dia. Aku tak bisa terima pelecehan dari seekor kecoa busuk. Tanganku kini benar-benar meraih buku tebal itu. Sudah kuancang-ancang tinggi, tinggal menunggu dijatuhkan tepat di badannya. "Sebentaaaar...!" tahannya. "Kau boleh membunuhku. Aku malah mengharapkan kematian yang berharga darimu. Aku cuma ingin kau mengakui sesuatu! Karena dengan pengakuan itu penyesalanmu akan terbebaskan." "Kau ingin aku mengakui apa?" "Akuilah, sesungguhnya kau tidak punya niat dan keberanian." Bangsat! Makin keterlauan saja dia. Plak! Tanpa dia duga buku itu meghempas beberapa senti darinya. Kecoa itu terbang dan hinggap di dinding. "Jangan menyalahkannya jika akhirnya dia menerima niat dan keberanian dari lelaki lain, karena dia tak kunjung mendapatkannya darimu." Brak! Buku itu menyambar dinding. Kali ini aku yakin mengenainya. Benar! Tapi kecoa itu masih mampu merayap sempoyongan menuju kolong meja. "Akuilah itu lalu tinggalkan dan lupakan!" Aku mengambil apa saja untuk menyeretnya agar dia keluar dari sana. Hahaha! Kena kau! Badannya terbalik berusik-usik tak berdaya. "Akuilah, tinggalkan, dan lupakan! Akuilah, tinggalkan dan lupakan! Akuilah, tinggalkan dan lupakan...!" dia berucap tak henti. Aku meraih sepatu di dekat situ. Tak ada kecoa yang bisa bertahan dengan hempasan sepatu ini. Bersiaplah! "Akuilah, tinggalkan dan lup..." Brakkk! Lendir coklat muda terciprat diantara hak sepatu. Aku memindahkan sepatu itu. Seekor kecoa berlendir gepeng terbaring. Mati juga kau! Aku membisu sesaat. Tak kudengar suara-suara itu lagi. Ah, benar-benar sudah mati dia. Rasakanlah! Itu hasil dari sikap sok tahu dan pedulimu. Malam kian larut. Aku mematikan lampu dan bersiap tidur. Belum semenit aku memejamkan mata. Dua ekor cicak bernyanyi serempak kompak: 'akuilah, tinggalkan, lupakan, akuilah, tinggalkan dan lupakan...' Cirebon, 22 September 2010 *Foto diambil dari koleksi Atcodered Photobucket




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline