Usulan agar pemerintah segera menghapus Ujian Nasional (khususnya untuk jenjang SMA /SMK) kembali disuarakan oleh kalangan pendidikan. Hal tersebut dilakukan menyusul keputusan (beberapa) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang tidak akan menjadikan nilai UN sebagai salah satu pertimbangan dalam proses penerimaan calon mahasiswanya.
Selain disebabkan oleh waktu pengumuman hasil UN yang tidak sesuai dengan jadwal pelaksanaan seleksi calon mahasiswa baru, rendahnya kontribusi nilai UN terhadap kualitas hasil seleksi pun menjadi alasan bagi PTN untuk mengesampingkannya. Pihak panitia pun akan mengoptimalkan jalur masuk yang tersedia seperti SNMPTN, SBMPTN serta seleksi mandiri dalam menjaring mahasiswa barunya.
Tuntutan untuk menghilangkan UN sebagai instrument dalam mengukur keberhasilan belajar siswa bukanlah hal baru. Beberapa tahun sebelumnya, moratorium UN bahkan pernah diwacanakan oleh Mendikbud Muhajjir Effendy. Sayangnya, dalam rapat kabinet paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo itu, usulan Mendikbud tersebut ditolak dengan dalih UN masih dibutuhkan untuk memetakan mutu pendidikan di berbagai daerah. UN dipandang masih diperlukan guna meningkatkan mutu pendidikan di tanah air.
Dalam pandangan penulis, keputusan pemerintah untuk tetap mempertahankan UN tersebut tidak beralasan. Hajatan tahunan yang menghabiskan anggaran tak kurang dari 500 miliar rupiah itu nyatanya belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan secara signifikan. Tak hanya itu, UN dinilai hanya mendorong peserta didik untuk menjadi generasi instant yang selalu mengambil jalan pintas dalam memecahkan persoalan. Berbagai bentuk kecurangan yang biasa terjadi saat pelaksanaan UN pun seakan menjadi "tradisi" yang diwariskan secara turun temurun.
Di lain pihak, adanya anggapan bahwa dengan dihapuskannya UN akan mengganggu proses pemetaan mutu pendidikan di tanah air juga kurang dapat diterima. Pemetaan mutu pendidikan untuk setiap daerah tidak seharusnya dilaksanakan setiap tahun, melainkan dilakukan secara berkala sesuai dengan kondisi serta kebutuhan di lapangan. Setiap daerah sebaiknya diberikan kesempatan untuk melakukan pembenahan sebelum benar -- benar dievaluasi oleh pemerintah pusat.
Adapun akreditasi sekolah yang diselenggarakan secara berkala merupakan sarana yang tepat untuk mengetahui sejauh mana mutu layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah melalui penilaian terhadap pemenuhan 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP). Proses akreditasi yang dilaksanakan secara objektif dan transparan akan mampu memberikan gambaran nyata tentang kondisi dunia pendidikan di setiap daerah. Dalam hal ini objektivitas data yang dihasilkan dari serangkaian proses akreditasi tersebut sangat bergantung pada kinerja asesor yang melaksanakan visitasi di lapangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan untuk menghapuskan UN merupakan keputusan yang tepat. Adapun pengawasan penyelenggaraan ujian di tingkat daerah serta optimalisasi pelaksanaan akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Nasional -- Sekolah / Madrasah (BAN -- SM)) mutlak dilakukan untuk mengontrol kualitas pendidikan di seluruh daerah. Kelemahan ataupun kekurangan yang ada hendaknya dijadikan masukan serta bahan evaluasi bagi para pengambil kebijakan untuk kemudian dilakukan perbaikan, bukan dipandang sebagai aib yang harus ditutup -- tutupi. Dengan demikian, upaya peningkatan mutu pendidikan di tanah air pun dapat benar -- benar terwujud
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H