Lihat ke Halaman Asli

Literasi Politik dan Pemilu Berkualitas

Diperbarui: 26 September 2016   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ditetapkankannya Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seakan menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat kasus hukum. Nur Alam diduga telah menyalahgunakan wewenangnya dalam  memberikan izin pertambangan nikel di dua kabupaten di provinsi tersebut dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain serta korporasi.

Ancaman pencopotan dari jabatannya sebagai kepala daerah serta hukuman penjara selama beberapa tahun pun menanti kepala daerah yang sebelumnya pernah menjadi incaran Kejaksaan Agung (Kejagung)  karena diduga memiliki rekening gendut tersebut. Kejadian ini pun mengundang keprihatinan Presiden Joko Widodo maupun maupun masyarakat Sultra yang selama ini menaruh harapan besar kepada yang bersangkutan untuk memajukan daerahnya.  

Peristiwa yang cukup memilukan tersebut menunjukkan bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya. DPRD sebagai lembaga yang diharapkan mampu mengawasi serta mengevaluasi kinerja pemerintah daerah tak jarang hanya berperan sebagai “penonton”.

Dalam beberapa kasus, (oknum) anggota DPRD bahkan ikut menjadi bagian dari konspirasi jahat yang dilakukan oleh pihak eksekutif maupun pengusaha nakal yang memiliki kepentingan tertentu. Ditetapkannya M. Sanusi sebagai tersangka dalam kasus suap terkait pembahasan rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta merupakan contoh dari sekian banyak kasus korupsi yang melibatkan wakil rakyat di daerah.

Terjadinya kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh pihak legislatif maupun eksekutif seperti yang digambarkan oleh penulis di atas sejatinya tak dapat dilepaskan dari proses Pemilihan Umum (Pemilu) yang masih jauh dari harapan. Pesta demokrasi yang digelar setiap lima tahun sekali itu baru sebatas memberikan kesempatan kepada warga untuk menunaikan hak politiknya namun belum mampu melahirkan pemimpin maupun wakil rakyat yang benar-benar memiliki visi untuk menyejahterakan rakyat. Tak heran apabila kursi kepala daerah maupun gedung parlemen pun banyak diisi oleh orang-orang yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya daripada memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah memilihnya.

Terpilihnya para “penumpang gelap” sebagai peyelenggara negara yang menempati berbagai lini tersebut antara lain disebabkan oleh kurangnya informasi yang diperoleh masyarakat tentang rekam jejak (track record) para calon pemimpin maupun wakil rakyat yang akan dipilihnya. Ketiadaan sumber resmi yang benar-benar dapat dijadikan rujukan menjadi kendala bagi para pemilih untuk melakukan penilaian secara objektif tentang kelayakan para calon pemimpin serta wakil rakyat yang tengah berkompetisi dalam merebut hati rakyat tersebut.

Di samping itu sebagian masyarakat kita masih terlihat lebih mengedepankan unsur-unsur subjektivitas dalam menentukan pilihannya dibandingkan menggunakan nalar mereka. Di beberapa daerah, faktor keturunan maupun popularitas masih memiliki pengaruh cukup signifikan dalam menentukan terpilihnya seseorang menjadi kepala daerah (atau presiden) dibandingkan dengan integritas serta kapabilitas yang dimilikinya.

Di lain pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu dinilai belum berperan maksimal dalam mencerdaskan pemilih melalui pendidikan politik yang dilaksanakan secara massif dan terstruktur. Dalam menjalankan tugasnya KPU baru sebatas melakukan sosialisasi tentang pentingnya menggunakan hak pilih dengan tujuan untuk meningkatkan partisipasi warga dalam proses pemilihan.

Selebihnya KPU pun hanya disibukkan dengan urusan-urusan logistik yang diperlukan pada saat hari pencoblosan. Padahal, KPU memiliki kewajiban moral untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat agar memilih para calon pemimpin maupun wakil rakyat yang benar-benar memiliki rekam jejak cukup bersih dan mampu mengemban amanah.  

Adapun media sebagai salah satu pilar demokrasi yang diharapkan mampu melakukan edukasi kepada masyarakat justru sering kali terjebak dalam kepentingan politik para elit parpol yang tengah bersaing. Alih-alih memberikan informasi akurat yang dibutuhkan masyarakat, media lebih terlihat sebagai “biro iklan” yang berperan mempromosikan berbagai “produk” dari kekuatan politik mana pun yang bersedia membayar mereka (dengan harga yang cukup tinggi).

Tak hanya itu, ada kalanya media juga dimanfaatkan sebagai “senjata” oleh pihak-pihak tertentu untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan cara melakukan pembunuhan karakter. Kita tentu masih ingat bagaimana “perilaku” yang ditunjukkan oleh dua perusahaan media raksasa yang berseberangan pada saat menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014 lalu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline