Lihat ke Halaman Asli

Memahami Peran Strategis Pustakawan

Diperbarui: 3 Mei 2016   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pustakawan hendaknya mampu memainkan perannya sebagai kurator, guru dan inspirator serta jembatan antara perpustakaan dan pengunjungnya. Mereka tidak hanya bertugas sebagai penyelenggara administrasi perpustakaan sekolah. Lebih dari itu, seorang pustakawan dituntut untuk mampu menumbuhkan ekosistem membaca di lingkungannya. Hal itu diungkapkan oleh Mendikbud Anies Baswedan saat memberikan sambutan dalam kegiatan Pencanangan Provinsi Riau sebagai Provinsi Literasi dan Sosialisasi Perpustakaan bersama Sastrawan di Pekan Baru beberapa waktu lalu. 

Menurut mantan Rektor Universitas Paramadina itu, sudah saatnya perpustakaan menjadi knowledge center bagi seluruh komunitas di lingkungannya, bukan sebatas gudang penyimpanan buku-buku yang (tak jarang) sepi dari pengunjung.

Keberadaan perpustakaan sebagai sarana penunjang kegiatan pembelajaran memang menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap sekolah. Banyaknya koleksi buku yang tersedia di perpustakaan sekolah akan mempermudah guru maupun siswa dalam mencari rujukan terkait materi yang tengah dibahas. Adapun pustakawan merupakan orang yang paling berperan dalam “mengantarkan” siswa menuju gerbang sumber ilmu tersebut. Tanpa adanya peran aktif dari pustakawan, terciptanya iklim membaca di kalangan siswa pun sangat sulit terwujud.

Sayangnya, hal ini kurang begitu disadari oleh guru maupun kepala sekolah. Sebagian besar sekolah (masih) memposisikan pustakawan sebagai profesi yang berhubungan dengan tugas-tugas administrasi belaka sebagaimana yang dilakukan oleh staff Tata Usaha (TU). Pustakawan hanya diberi tugas untuk melakukan inventarisasi serta melayani peminjaman dan pengembalian buku layaknya kepala gudang. Tak heran apabila profesi pustakawan pun masih dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan.

Kondisi ini diperparah dengan minimnya SDM yang dimilki oleh sekolah. Banyaknya guru yang terpaksa merangkap jabatan sebagai pustakawan tak jarang mengakibatkan pelayanan yang diberikan kepada siswa maupun guru lainnya menjadi kurang maksimal. Perpustakaan hanya dibuka saat guru yang diberikan tugas untuk mengelola perpustakaan tersebut sedang tidak ada jam pelajaran. Selebihnya, siswa pun terpaksa mencari referensi di tempat lain untuk dapat menyelesaikan tugas-tugasnya maupun sekedar untuk membaca buku di waktu senggang.

Untuk dapat menciptakan budaya literasi di kalangan siswa maupun guru, optimalisasi peran pustakawan sekolah nampaknya menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam hal ini seorang pustakawan hendaknya tidak sekedar menjalankan tugas-tugas administrasi semata, namun juga dituntut untuk mampu membuat terobosan melalui penyusunan program-program yang berorientasi pada peningkatan minat membaca. 

Untuk itu peningkatan kompetensi pustakawan pun hendaknya menjadi salah satu program kerja sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas layanannya. Jika diperlukan, pemerintah pun dapat merancang program sertifikasi pustakawan sebagaimana yang diberlakukan kepada tenaga pendidik. Dengan demikian, keberadaan perpustakaan sebagai jantungnya sekolah pun dapat benar-benar berperan sebagaimana mestinya.

Ramdan Hamdani

www.pancingkehidupan.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline