Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan Menengah Universal Serta Tantangannya

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Program Pendidikan Menengah Universal (PMU) secara resmi diluncurkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh pada hari selasa (25/06/2013) di Jakarta. Dengan anggaran sebesar 8 triliun rupiah untuk satu tahun ajaran, program ini bertujuan untuk meringankan beban orang tua terutama dalam membayar SPP. Melalui PMU, setiap siswa SMA / SMK akan mendapatkan bantuan sebesar Rp 1 juta pertahun yang disalurkan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Adapun yang menjadi tujuan jangka panjang program ini adalah untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menegah nasional menjadi sebesar 97 persen pada tahun 2020 dari angka APK saat ini yang hanya 78,8 persen.

Seperti diketahui, sampai dengan tahun 2035 mendatang kita akan memperoleh angkatan produktif yangjumlahnya cukup besar dan seringkali disebut “bonus demografi”. Pertanyannya, apakah bonus demografi tersebut merupakan anugerah ataukah bencana ? Bonus demografi tentunya akan menjadi anugerah manakala angkatan muda tersebut dibekali dengan pendidikan yang memadai. Untuk itu, sejak tahun 2010 pemerintah pun menyiapkan program dengan membangun 416 sekolah baru dan juga 34.000 ruang kelas baru. Dan pada tahun 2014 mendatang, diharapkan sebanyak 500 sekolah baru dan 10.000 ruang kelas baru dapat terbangun setiap tahunnya untuk mencapai target peningkatan APK sebesar 3 persen pertahun.

Meskipun demikian, program yang dicanangkan pemerintah ini bukannya tanpa hambatan. Jumlah ketersediaan guru khususnya guru SMK yang tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan guru di lapangan tentunya menjadi persoalan tersendiri dalam rangka menyukseskan program tersebut. Seperti diketahui, saat ini total kebutuhan guru pertahun adalah sebesar 39.000. Dari angka tersebut yang lebih dibutuhkan adalah guru produktif untuk SMK. Kekurangan jumlah guru ini antara lain disebabkan oleh tidak semua LPTK menghasilkan guru-guru produktif. Akhirnya, merekrut para lulusan politeknik pun menjadi jalan keluar untuk menutupi kekurangan jumlah guru untuk SMK.

Adapun untuk konteks Jawa Barat, APK nasional yang saat ini mencapai 78,8 persen tentu saja akan berbeda angkanya ketika diturunkan menjadi APK Provinsi. Saat ini jumlah penduduk Jawa Barat yang berusia antara 16 – 18 tahun adalah sebanyak 2.155.200 jiwa. Dari angka tersebut, sebanyak 554.662 orang memilih mendaftar ke SMA , 801.985 memilih SMK dan sebanyak 1226 orang masuk ke sekolah menengah luar biasa. Jika dijumlahkan ternyata ada 797 ribu atau lebih dari 37 persen angkatan muda Jawa Barat yang tidak dapat mengenyam pendidikan menengah. Selain itu jumlah guru yang ada di Jawa Barat sebanyak 12.304 untuk SMA dan 21.871 guru untuk SMK nampaknya menjadi tantangan tersendiri bagi Pemprov Jabar untuk bekerja lebih keras.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan partisipasi dan kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah serta masyarakat untuk memperluas akses pendidikan bagi angkatan produktif dimasa yang akan datang. Ketersediaan guru, ruang kelas serta sarana pendidikan yang memadai merupakan syarat mutlak. Dengan demikian, bonus demografi yang akan kita peroleh diharapkan menjadi anugerah bagi bangsa Indonesia dan bukannya menjadi bencana nasional.

Ramdhan Hamdani

www.pancingkehidupan.com





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline