Nilai-nilai kejujuran dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah selayaknya kita junjung tinggi. Hal ini dikarenakan kejujuran merupakan pondasi awal yang sangat penting dalam membentuk karakter peserta didik. Tanpanya, mustahil mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang memiliki integritas.
Masih ditemukannya praktik titip-menitip anak pejabat dalam proses penerimaan siswa baru patut kita sayangkan. Hal tersebut tentunya dapat menodai nilai kejujuran yang dijunjung tinggi oleh lembaga pendidikan. Selain itu tindakan tidak terpuji semacam ini akan semakin melunturkan wibawa pejabat yang bersangkutan di hadapan masyarakat.
Jika kita cermati lebih jauh, fenomena ini bukanlah hal yang baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian pejabat seolah mempunyai “jatah” kursi di sekolah-sekolah tertentu yang memang telah disediakan jauh-jauh hari. Dalam kondisi seperti ini, pihak sekolah pun seolah tak berdaya menolak “titah” sang penguasa tersebut.
Keengganan sekolah untuk menolak anak-anak pejabat memang dapat dimaklumi. Hal ini didasarkan pada kebutuhan yang dimiliki oleh sekolah baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah tentu akan sering bersentuhan dengan birokrasi dalam menjalankan operasionalnya. Dalam beberapa hal, sekolah akan sangat membutuhkan “bantuan” dari para pejabat tertentu untuk mengatasi hambatan-hambatan yang mungkin terjadi di lapangan.
Lebih dari itu, kontribusi para pejabat untuk kemajuan sekolah baik itu yang bersifat materi maupun non materi sangatlah dinantikan oleh pihak sekolah. Dengan demikian, dengan menerima anak pejabat sebagai peserta didik disekolah tersebut, sekolah seakan mendapatkan “asset” yang sangat berharga. Bahkan semakin banyak anak pejabat yang diterima disebuah sekolah, dianggap akan menaikkan pamor sekolah dimata masyarakat.
Fakta-fakta diatas sejatinya menjadi persoalan serius yang harus segera ditangani secara bertahap. Untuk itu dibutuhkan sikap tegas dari pimpinan sekolah untuk menolak para siswa yang memang tidak layak diterima sekalipun mereka adalah anak pejabat. Adapun guru hanyalah pelaksana teknis di lapangan ketika proses penerimaan siswa baru, sedangkan kebijakan tetap ada ditangan kepala sekolah. Banyaknya guru yang bersifat pasif atau menutup mata ketika melihat ada anak pejabat yang tidak layak lulus tapi tetap diterima disebabkan kekhawatiran akan eksistensi mereka disekolah tersebut.
Adanya kasus-kasus guru yang mencoba melaporkan kecurangan pada saat Ujian Nasional namun diganjar dengan intimidasi oleh rekan sekerja ataupun pimpinan sekolah bahkan berakhir dengan mutasi ke daerah terpencil cukuplah menjadi warning bagi mereka yang mencoba “melawan arus”. Pada akhirnya, moto hidup “Utamakan Selamat” pun kembali populer seperti halnya pada saat Ujian Nasional.
Untuk itu, sikap bijak dari Kepala Sekolah untuk menanamkan kejujuran kepada seluruh kalangan masyarakat sangatlah dibutuhkan. Selain itu kepala daerah pun diharapkan aktif dalam memantau pelaksanaan hajatan tahunan tersebut. Dengan begitu “benang kusut” dalam setiap penerimaan siswa baru pun dapat terurai sehingga hanya mereka yang berhak saja pada akhirnya akan diterima.
Ramdhan Hamdani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H