Lihat ke Halaman Asli

Menjaga Kondisi Kejiwaan Pendidik

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Disahkannya Undang-Undang Kesehatan Jiwa oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu, telah memberikan harapan akan lahirnya sosok-sosok pendidik yang berkualitas dan berintegritas. Dalam pasal 71 UU tersebut disebutkan bahwa, semua profesi yang berkaitan langsung dengan publik harus menjalani tes kejiwaan, termasuk guru dan dosen. Uji kejiwaan tersebut dilakukan secara berkala untuk mengetahui sejauh mana kemampuan mengingat, berintegrasi dan bersosialisasi yang bersangkutan.

Terbitnya aturan tersebut tentunya akan memberikan dampak positif bagi dunia pendidikan. Banyaknya kasus tindak kekerasan fisik maupun pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru akhir-akhir ini bisa jadi disebabkan oleh kondisi kejiwaan mereka yang tidak stabil atau bahkan mengalami gangguan. Banyaknya persoalan yang dialami oleh guru seperti masalah kesejahteraan, konflik dengan keluarga maupun tekanan dari atasan tak jarang mengakibatkan peserta didik menjadi tempat pelampiasan.

Kondisi semacam ini seakan mengingatkan kita terhadap istilah Burnout, yaitu suatu sindrom dimana seseorang merasa lelah, kecewa dan frustasi sehingga tidak tertarik lagi pada pekerjaan yang digelutinya.  Sindrom semacam ini biasanya dialami oleh mereka yang bekerja pada pelayanan publik seperti pekerja kesehatan, guru, polisi dan pekerja administrasi.

Menurut Kleiber Ensmann dalam bibliografi terbarunya, dari sekian banyak orang yang menderita sindrom ini sebanyak 32 persennya adalah pendidik yang kemudian kita kenal dengan istilah Teacher Burnout. Adapun untuk konteks Indonesia, ada banyak faktor yang menyebabkan para guru yang mengalami sindrom ini. Gaji yang kurang, siswa yang sulit diatur, orang tua yang tidak bisa diajak bekerja sama sampai dengan manajemen sekolah yang dianggap otoriter disinyalir sebagai penyebabnya.

Akibatnya sekolah tidak lagi dinilai sebagai tempat kerja yang menyenangkan. Sering datang terlambat, malas-malasan dalam bekerja bahkan sering meninggalkan sekolah sebelum waktunya adalah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik yang terkena  sindrom semacam ini Bahkan, saking tidak adanya motivasi mereka untuk bekerja, pengajaran pun mereka lakukan dengan metode CBSA alias Cul Budak Sina Anteng. Celakanya lagi, sindrome ini ternyata dapat “menular” dengan mudah pada guru-guru lainnya yang pada akhirnya membuat iklim kerja menjadi tidak sehat. Akhirnya siswalah yang menjadi korban dari buruknya kualitas pembelajaran yang “dipersembahkan” oleh guru yang mengalami sindrom ini.

Untuk menjaga kondisi kejiwaan para pendidik agar tetap stabil, pemeriksaan kesehatan jiwa mereka secara berkala nampaknya menjadi keharusan. Oleh karenanya keluarnya UU Kesehatan Jiwa yang terbaru ini sudah selayaknya kita dukung penuh. Dengan begitu sekolah pun akan mampu menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak sehingga orang tua merasa tenang menitipkan anak-anaknya di sekolah.

Ramdhan Hamdani

www.pancingkehidupan.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline