Mungkin memang ada kawan-kawan mahasiswa lain yang sempat duduk di malam duahari kemarin dari waktu saya menulis esai ini yang dapat saya ambil sebagai contoh namun saya lebih melihat Zaadit sebagai pemilik potensi untuk mengambil langkah-langkah lain ketimbang apa yang sering dilakukan oleh teman-temannya yang selalu mendemoi pemerintah di jalanan, dan juga sang Presma Trisakti dan Ketua BEM UI UGM. Aksi kartu kuning kemarin adalah salah satunya---ketika kritik lewat megafon yang diproduksi oleh Cina tidak didengar dan hanya semata dianggap sesuatu yang istimewa.
Nalar para mahasiswa, terutamanya mereka para anggota BEM UI yang sempat dipimpin seorang pemuda yang sebelumnya kurang kritis dan hanya mampu diajak berembug dengan sepiring makanan lalu pulang bersama sebuah foto dengan sang Presiden, mereka blak-blakkan di acara Mata Najwa kemarin menunjukkan sebuah sikap perlawanan yang tak pernah kita lihat di majelis-majelis rakyat, terutamanya pada waktu merebaknya sebuah aksi kecil dan bermental layaknya dimiliki seorang putch, tayangan televisi sebelumnya. Presma Trisakti mengajak semua hadirin, kebanyakan terdiri dari mahasiswa kampus pula, untuk bangkit dari kursinya dan mengepalkan tangan mereka sembari mengulangi kata-kata Sumpah Mahasiswa. Ketua BEM UGM dengan jelas menunjukkan suatu watak kita tak pernah lihat sebelumnya---lewat memaparkan bahwa pendidikan telah menjadi komoditas, dan berimplikasi bahwa sekarang tengah berlangsung sebuah perjuangan kelas, konon sesuatu yang lebih sering dipikirkan oleh orang-orang kiri dari era Revolusi Industri. Walaupun begitu, perwakilan dari IPB menunjukkan sesuatu yang baru pula; dimana ia menjelaskan adanya permasalahan di sektor agraria kita sekarang.
Bagaimana tidak, semua masalah mereka ucapkan dalam orasi masing-masing pada awal acara merupakan sesuatu yang tak pernah dibahas oleh media massa maupun pejabat negara. Ini membuktikan bahwa kita semua, sekiranya, sudah dibohongi. Namun saya menganggap mereka semua mengingkari beberapa hal yang lebih penting pula untuk dibilang kepada para penonton acara saat itu.
Terutamanya ketika Moeldoko dengan arogannya memamerkan pencapaian sang Presiden untuk negara walaupun hampir seluruhnya hanyalah dalam segi pemberdayaan masyarakat secara teknis dan untuk pembangunan negara. Andaikan saya seorang mahasiswa setaraf Zaadit dan berada di salah satu kursi bersama kawan-kawan lainnya, saya akan mengatakan dengan keras; bahwa tujuan Indonesia, sejak terjadinya pergolakkan ideologis pasca kemerdekaan dan selama Orde Lama, adalah terbangunnya persatuan dan pengamalan nilai-nilai kemanusiaan dari Pancasila serta cita-cita semua pejuang kemerdekaan dari kolonialisme asing serta fasisme oleh salah seorang bagian rakyat kita sendiri.
Kita masih perlu banyak belajar mengenai demokrasi, pengokohan pendirian pribadi untuk menunaikan peran kita dalam membangun negara; singkat cerita, bersatunya kekuatan demi kesejahteraan sesama. Tak ada lagi penindasan orang-orang miskin lewat susahnya biaya pengobatan, pendidikan serta ancaman penggusuran guna membiarkan masuk arsitek-arsitek malang membangun sebuah gedung baru agar digunakan oleh mereka yang memiliki duit banyak.
Tak ada lagi tuntutan para demonstran Aksi Kamisan perlu didengar lagi, yang rata-rata terdiri dari keluarga korban kekerasan Orde Baru dan kejadian demi kejadian menjelang Reformasi, karena mereka semua telah berpulang ke rumah masing-masing setelah berekonsiliasi dengan para pihak yang berperan dalam kematian saudara-saudari mereka. Tak ada lagi berita mengenai perjuangan petani dan warga yang dikriminalisasi di Kulonprogo dan Kendeng. Semua orang dari klas proletariat sampai borjuis-petit hidup dengan damai dan saling bersaudara. Singkat cerita; terlaksananya sosialisme Indonesia didasari oleh Ampera dan juga cita-cita Pancasila!
Dan begitu juga mengenai pesan Adian, salah seorang anggota Fraksi PDIP di DPR, bahwa para mahasiswa---terutamanya Zaadit---tak memiliki bobot moralitas untuk menyampaikan pesan mereka (dari maknanya sendiri) karena mereka tak pernah merasakan keringat anggota suatu lapisan rakyat yang berjuang, darah dan tangisan mereka setiapharinya untuk membeli sekarung beras serta menghutang untuk lauk-pauk makan siang sampai malam, saya akan katakan---selain apa yang diucap oleh Zaadit pribadi bahwa mereka sudah merasakannya sendiri lewat membaca berita mengenai penderitaan mereka, andaikan saya seorang mahasiswa dan diberi kesempatan untuk berbicara, saya akan katakan jelas-jelas dengan menyetujui Zaadit; bahwa dunia serta Indonesia telah berganti rupa.
Hampir keseluruhan penduduknya sudah jatuh menikmati barang-barang yang disediakan oleh industri swasta dan asing dengan izin pemerintah, pendidikan telah di-Barat-kan dengan model kurikulum yang dikomodifikasi, tak bisa tidak dielakkan lagi bahwa kemewahan terakhir saya punyai adalah memahami penderitaan mereka merupakan kesengsaraan salah satu lapisan rakyat yang berdarah sama seperti saya.
Mengindah-indahkan, bagaimanapun PDIP 'mengemban nilai-nilai ajaran' sang tokoh ini, perkataan Soekarno bahwa seorang pejuang harus merasakan jerih payah rakyat untuk hidup secara literal bukanlah suatu langkah yang tepat guna diberikan sebagai argumen kepada para mahasiswa zaman sekarang, karena dahulu para pelajar memiliki sebuah metode pembelajaran yang langsung terpampang terhadap kenelangsaan itu sendiri; mereka bebas menelan buku-buku kiri, dari Marx sampai Luxemburg, karya-karya filsafat, biografi tokoh-tokoh pejuang negara lain, serta lebih terutamanya---melihat pergolakkan jasmani dan rohani itu sendiri. Merasakannya langsung dengan kematian kawan-kawan mereka karena kerja paksa, kekurangan bahan untuk kepentingan pangan serta popor senapan yang mengancam para tentara asing.
Saya akan tanya kepada Adian; bukankah diri Anda sendiri merasakan kesulitan rakyat karena permasalahannya jelas-jelas ditayang di koran, televisi dan terdengar lewat kabar angin?
Andaikan saya seorang mahasiswa dan diberi kesempatan untuk berorasi, saya akan serukan jelas-jelas; bersatulah rakyat Indonesia, kesampingkan perbedaan ideologis dan teisme kalian karena masih ada permasalahan lebih besar lagi kita perlu kelola untuk membangun negara, jangan hanya kita saja sebagai mahasiswa yang lebih berpendidikan, agar kritik dan perjuangan kita tidak cuma disanjung melainkan benar-benar dibahas di rapat parlemen dan pemerintah negara. Karena seperti itulah apa yang dilakukan oleh para pejuang dahulu, seperti HOS Tjokroaminoto yang beragama Islam; ia mampu menyatukan nilai-nilai sosialisme Marxisme dengan ajaran-ajaran Islam.