Oleh Ramayanti Alfian Rusid S.Psy, MM.Com*
Siapapun bisa mengalami tindakan pemerkosaan. Mulai dari bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa hingga nenek-nenek. Pelakunya biasanya orang dekat dengan korban.
Pemerkosaan adalah jenis serangan seksual yang melibatkan hubungan seksual atau bentuk penetrasi seksual lainnya yang dilakukan terhadap seseorang, yang bersifat pemaksaan atau nonkonsensual atau tanpa persetujuan seksual dari si korban.
Berbicara masalah pemerkosaan, cakupannya sangat luas. Antara lain, kejiwaan pelaku, kejiwaan korban, efek akibat pemerkosaan, hukuman pemerkosa dan lain-lainnya. Saya mempersempit, pemerkosaan dilakukan oleh orang 'dekat'. Hal ini saya kemukakan berdasarkan pengamatan saya terhadap kasus pemerkosaan yang terjadi dalam waktu-waktu terakhir.
Pemerkosaan tidak mungkin bisa terjadi bila tidak ada interaksi antara pelaku dan korban. Kecuali pemerkosaan yang disertai kejahatan lainnya, misalnya perampokan atau penculikan.
Pemerkosaan yang saya maksud di sini adalah antara yang lemah dan yang berkuasa. Misalnya antara guru dan murid, mahasiswa dan dosen, serta orangtua dan anak.
Objek perkosaan di sini menjadi lebih kepada budak seks atau pemuas nafsu, karena korban memang dikendalikan oleh pelaku, dengan menciptakan kondisi psikologi korban sangat tidak berdaya.
Seorang guru SMP di Purbalingga, Jawa Tengah, memperkosa 5 muridnya dan merekam tindakan bejat itu di sekolah tempatnya mengajar.
Ada tujuh siswi yang menjadi korban sejak tahun 2013 hingga 2021. Dari tujuh siswi, lima di antaranya diperkosa, satu dicabuli, satu lagi dipaksa menonton video porno.
Modus yang dilakukan tersangka yaitu mengancam korban apabila tidak mau memenuhi keinginannya, korban diancam akan diberi nilai jelek maupun diancam akan menyebarkan video asusila bagi korban yang sudah pernah disetubuhi
Kasus lainnya, seorang guru honorer berinisial AG di Tanjung Jabung, memperkosa muridnya, MP (16) hingga berkali-kali.