Opini, Surabaya - Bukan rahasia umum bahwa harga tiket pesawat internasional jauh lebih murah daripada tiket domestik. Hal ini tidak hanya terjadi di high season tetapi juga terjadi di low season. Sebagai contoh untuk penerbangan dari Jakarta (CGK) menuju Singapura (SIN) memakan biaya sekitar Rp. 500.000 hingga Rp. 800.000. Sedangkan untuk penerbangan dari Jakarta (CGK) menuju Surabaya (SUB) memakan biaya sekitar Rp. 800.000 hingga Rp. 1.200.000. Perbedaan yang signifikan bukan?
Sikap Menparekraf dan Menhub
Dilansir dari Tempo pada 2 April 2024, Menparekraf Sandiaga Uno mengungkapkan permasalahan utama harga tiket pesawat domestik mahal karena suply and demand tidak seimbang. Perlu diketahui juga bahwa kenaikan harga tiket ini dikatakan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sudah ditetapkan melalui TBA (Tarif Batas Atas) dan TBB (Tarif Batas Bawah).
Pada artikel ini juga Menparekraf memberikan statement yang sangat menggelitikan sekali dengan pernyataan "Kami harap wisatawan Indonesia bisa mengedepankan produk ekonomi kreatif " dan "Jangan banyak menghabiskan devisa di luar negeri, tapi menggerakkan ekonomi rakyat."
Hal ini seakan-akan memaksa kita untuk menghabiskan dan menghamburkan uang di ekonomi domestik namun tidak ada penyelesaian oleh sang pemangku kebijakan. Hampir tidak pernah sekalipun langkah-langkah atau upaya yang dilakukan bisa menekan tingginya harga tiket pesawat.
Masyarakat selalu dicekoki alasan bukan solusi, kita bayar pajak bukan untuk menerima alasan bung!
Kerapkali Menparekraf menyatakan mahalnya tiket pesawat domestik itu dengan berbagai alasan dimulai dari maskapai internasional memberikan diskon penerbangan, tingginya harga bahan bakar karena konflik global hingga suply and demand. Perlu diketahui alasan-alasan ini selalu dikatakan, hal ini seakan omong kosong belaka.
Belum ada solusi yang solutif. Pernyataan yang selalu dikeluarkan adalah "koordinasi" dan "akan segera diatasi". Pencekokan alasan ini tentu saja seakan membodohi masyarkat karena tidak ada kebijakan efektif. Lalu kita dipaksa meningkatkan ekonomi lokal tapi pesawat mahal? Sama saja seakan-akan memaksa kita untuk bergerak tanpa dukungan kebijakan yang sudah menjadi kewajiban sang pengambil kebijakan.