SEORANG ekonom , April tahun ini, menulis tentang BBM. Menurut pakar itu, subsidi BBM tak lagi sebatas membelenggu, merusak postur dan menambah ketidakpastian APBN, melainkan telah pula merongrong akun lancar (current account), membuat semu tingkat laju inflasi, menghambat diversifikasi energi yang ramah lingkungan, memicu penyeludupan BBM, dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang semakin tidak rasional. Pendek kata, subsidi BBM telah menjelma menjadi tumor ganas bagi perekonomian.
Berdasar pengalaman, kita yakin pendapat pakar ini tentulah tak perlu diragukan. Pendapat itu 100 persen benar. Semakin membengkaknya subsidi BBM sudah menjadi hantu menakutkan.
Subsidi BBM yang telah menjelma menjadi tumor ganas ini pulalah yang menjadikan Presiden Joko Widodo alias Jokowi menyatakan bersedia untuk tidak popular. Kesiapan untuk tidak popular ini dapat disimak melalui satu wawancara khuus dengan tabloid KONTAN.
Subsidi BBM ini memang menjadi tugas berat yang bakal dipikul pemerintahannya. Itu sebabnya, dia menyatakan siap mengerek harga BBM bersubsidi. Ia menyatakan juga siap tak populer di mata rakyat lantaran menaikkan harga BBM demi menyehatkan fiskal negara. "Saya siap mengambil pahitnya, mau kotor-kotoran, dan tidak populer sekarang, asalkan selanjutnya Indonesia menjadi lebih baik." (Kompas.com 3/9-14).
Masalah subsidi BBM ini juga menjadi fokus pembicaraan Presiden SBY dan presiden terpilih Jokowi pekan lalu di Bali. Saat itu, tak sedikit memang n yang berteriak -- bahkan kalangan PDIP yang tadinya dikenal sangat anti pada kebijakan menaikkan harga BBM – mendesak pemerintahan SBY yang usianya tinggal dua bulan segera menaikkan harga BBM. Tapi toh, SBY bergeming.
Menambah Jumlah Orang Miskin
Terlepas dari apa alasannya, keputusan SBY yang menolak desakan itu, patut dipahami. Kenyataan memang tidak mudah. Persoalannya persis seperti tubuh seseorang yang dihinggapi tumor ganas. Ketika akan dioperasi atau dibuang, bagian-bagian tubuh lainnya penuh dengan penyakit. Semisal hipertensi, gejala jantung, diabetes…dst. Operasi menjadi pilihan terakhir.
Itu sebabnya, kita bisa menyetujui pendapat politisi PDI Perjuangan, Maruarar Sirait, yang keberatan jika pemerintahan Jokowi kelak menaikkan harga jual BBM.
Hitung-hitungannya pasti. Setiap kenaikan harga jual BBM Rp 500.- / liternya, masyarakat butuh tambahan in come Rp65 ribu per bulan. Kenaikan sebesar itu akan menambah jumlah orang miskin sebanyak 1.525.000 orang. Juga menimbulkan inflasi sebesar 0,72 persen. Jika harga BBM dinaikkan sampai Rp 3000 per liternya, berapa pertambahan jumlah orang miskin di negeri ini? Apa yang terjadi pada perekonomian nasional dengan inflasi 4,32 persen?
Tersimpul, betapa rapuh dan sakit-sakitannya tubuh republik ini. Padahal, jika kita fokus ke jumlah orang miskin saja, baru beberapa pekan lalu PBB menyarankan perlunya Indonesia menaikkan batas garis kemiskinan (BGK) yang menjadi patokan penghitungan berapa jumlah orang miskin di negeri yang ijo royo-royo ini.
Sebagai illustrasi, hasil pengukuran UNDP yang dilaporkan dalam Human Development Report 2013 – dengan menggunakan patokan (BGK) versi UNDP – ditemukan tingkat kemiskinan di Indonesia pada 2012 mencapai 22,8 persen. Sementara versi pemerintahan SBY hanya 12,5 persen (tahun 2014 bahkan turun lagi menjadi 11,25 persen atau 28,28 juta orang).
Artinya, jika Indonesia benar-benar mau menggunakan GBK yang sesungguhnya sesuai petunjuk UNDP, jumlah orang miskin sebenarnya sangatlah banyak, bisa dua kali lipat. Bahkan jika berani menggunakan patokan BGK di negeri-negeri maju – toh pejabat kita sering tepuk dada menyamakan RI dengan negara-negara maju, masuk 10 besar ekonomi dunia – jangan-jangan mayoritas dari 250 juta penduduk adalah orang miskin.
Kerja Keras dan Penghematan Lain
Dari gambaran seputar angka kemiskinan di atas, menjadi penting untuk dipertanyakan, masihkah saat ini relevan desakan mencabut subsidi BBM?
Kalau kita lihat postur RAPBN 2015, toh dari jumlah Rp 2.019,9 triliun, subsidi energi hanya Rp363,5 triliun atau 17,99 persen. Sementara anggaran sektor lainnya – termasuk 20 persen untuk pendidikan -- mencapai 82,01 persen. Kita paham, di balik kebijakan subsidi BBM yang nota bene adalah subsidi untuk rakyat itu, ada sejumlah penyakit yang perlu diobati. Tapi bukankah masih banyak yang bisa dihemat dari anggaran sector lain?
Akan lebih bijak jika Presiden Jokowi mengubah mindset, darimeributkanbesaran subsidi untuk rakyat ke arah upaya menggenjot penerimaan negara habis-habisan, dan melakukan efisiensi sebesar-besarnya. Kenapa ‘’kemewahan’’ yang dinikmati pejabat-pejabat dan birokrasi kita tak pernah diributkan?
Kerja keras, kerja keras, dan kerja keras. Itulah kuncinya. Itulah yang diharapkan makanya rakyat memilih Jokowi. Semoga. (ras)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H