BPK Kawal Harta Negara, Pernahkah Anda membaca dan menyandingkan satu Undang-undang dengan Undang-undang lain yang berkaitan? Seorang kawan bergelar sarjana hukum pernah berseloroh, "Saya yang sarjana hukum saja pusing melihat banyaknya kerancuan antar-Undang-undang, apalagi yang bukan orang hukum."
Terkait tindak-lanjut hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kiranya bisa mendatangkan multitafsir, khususnya bagi orang awam. Audit investigasi adalah salah satu ragam pemeriksaan kategori Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). PDTT sendiri, merupakan satu jenis pemeriksaan BPK, selain audit keuangan dan audit kinerja.
Pada galibnya, audit investigasi dilakukan bilamana BPK menengarai adanya indikasi atau potensi kekeliruan pengelolaan keuangan negara yang berpotensi menimbulkan kerugian. Dalam bahasa gamblang barangkali bisa dikatakan, audit investigasi dilakukan bilamana ditengarai terjadi praktik korupsi.
Selama ini, BPK cukup serius menangani audit investigasi. Bahkan, BPK sudah membentuk lembaga setingkat eselon satu yang khusus membidangi masalah audit investigasi. Kini, lembaga negara yang dipimpin Ketua Moermahadi Soerja Djanegara itu telah menetapkan bahwa penanganan pemeriksaan investigatif maupun penghitungan kerugian negara, hanya melalui satu pintu, yaitu Auditoriat Utama Investigasi.
Sebelumnya, penanganan audit investigasi dan perhitungan kerugian negara tersebar di masing-masing Auditorat Keuangan Negara (AKN) atau masing-masing Perwakilan (BPK Perwakilan). Hal itu dipandang tidak lagi memadai, di tengah banyaknya permintaan pemeriksaan investigatif dan pengitungan kerugian negara.
Berdasar pemberitaan di laman resmi www.bpk.go.id, menjalng akhir tahun 2017 saja, BPK banyak melakukan audit investigasi dan penghitungan kerugian negara. Di antaranya terkait kasus Pertamina, lahan di Cirebon dan Sumatera Barat, kasus di BPD Papua, dan terakhir di PT Pelindo.
Kasus di Pertamina, menyangkut investasi pada empat emiten senilai Rp 1,5 triliun selama 2013-2015, yang dilakukan secara menyimpang dari peraturan sehingga mengakiabtkan kerugian negara pada Dana Pensiun Pertamina sebesar Rp 599 miliar. Di samping, kasus selisih harga beli kapal Anchor Handling Tug and Supply (AHTS) yang mengakibatkan kerugian keuangan negara pada PT Pertamina Trans Kontinental sebesar USD2.65 juta, ekuivalen Rp35 miliar.
Itu hanya contoh, dari apa yang dikerjakan Auditoriat Utama Investigasi. Tentu masih banyak, dan akan terus bertambah jumlah kasus yang diperiksa. Selain inisiatif dari internal BPK sendiri, informasi awal audit investigatif bisa berasal dari pihak eksternal. Instansi-instansi yang bisa meminta audit investigatif kepada BPK dan langsung ditindaklanjuti Auditorat Utama Investigasi adalah lembaga perwakilan, Aparat Penegak Hukum, dan instansi berwenang lainnya.
Adapun informasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun perorangan dan lainnya, diklasifikasikan sebagai pengaduan masyarakat. Pengaduan masyarakat perlu verifikasi sebelum disampaikan kepada Auditorat Utama Investigasi.
Semester I Tahun 2017 periode 1 Januari sampai 3 Juli 2017, terdapat 21 permintaan audit investigatif dan 118 permintaan Penghitungan Kerugian Negara. Sedangkan tahun 2016 terdapat 30 permintaan pemeriksaan investigatif dan 97 permintaan Penghitungan Kerugian Negara atau dalam tiap semester di tahun 2016 kurang lebih 15 permintaan audit investigatif dan 49 permintaan Penghitungan Kerugian Negara. Sementara, Semester I Tahun 2017, terdapat 5 pemeriksaan investigatif yang sudah selesai dan telah terbit LHP-nya, serta 24 Penghitungan Kerugian Negara yang sudah selesai dan telah terbit LHP-nya.
Seperti dituturkan di atas, hasil pemeriksaan investigatif tadi kemudian, sesuai peraturan-perundang-undangan, diserahkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) dan lembaga yang berwenang lainnya. Garis bawah, harus diletakkan pada kata "lembaga yang berwenang" lainnya.