Lihat ke Halaman Asli

Calon Anggota BPK Bergaji Rp15 Miliar

Diperbarui: 1 Maret 2017   18:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Calon Anggota BPK, Dadang Suwarna. Sumber: http://www.bppk.kemenkeu.go.id

Alkisah, tersebutlah seorang Perdana Menteri yang meski hanya seumur jagung, tetapi menorehkan gebrakan pemberantasan korupsi yang luar biasa. Namanya Burhanuddin Harahap. Ia berkuasa 12 Agustus 1955 sampai 3 Maret 1956. Ya, hanya enam-setengah bulan saja. Dalam kurun yang singkat itu, Perdana Menteri dari Partai Masyumi ini melahirkan RUU Anti Korupsi dengan sistem pembuktian terbalik.

Karena keburu diganti oleh rezim Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, maka RUU itu sedia dibahas di pemerintahan Ali. Apa lacur, sampai sekarang, RUU Anti Korupsi dengan sistem pembuktian terbalik gagasan Burhanudin Harahap itu tetap mangkrak, tak ada yang menyentuhnya lagi. Bahkan, sekalipun era sudah berganti ke reformasi, di mana negara sudah memiliki kelengkapan lembata antirasuah seperti KPK, tetapi ruh RUU itu belum lagi terlaksana.

Apa hakikat kisah di atas? Hakikatnya adalah, konteks kekayaan seorang pejabat yang di luar batas kewajaran, selalu saja menjadi sorotan publik. Masyarakat hanya bisa menduga-duga tentang cara mereka memperoleh harta tersebut, tetapi tidak ada perangkat hukum yang bisa menelanjangi sampai ke detail perolehan harta yang fantastis.

Ini menjawab isu, kasak-kusuk, dan gunjingan publik di Senayan (lembaga legislatif), menjelang proses seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Sebab, satu di antara 28 calon yang mendaftar, terdapat satu nama yang bisa dibilang sangat-sangat kaya untuk ukuran pejabat negara eselon dua.

Dia adalah Dadang Suwarna. Pejabat super-tajir yang satu ini, memulai karier sebagai pegawai di BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) sampai posisi eselon tiga atau kasubdit. Namanya melambung saat Menteri Keuangan Agus Martowardojo mempromosikan sebagai Direktur Pemeriksaan Pajak pada 2013. Promosi ini termasuk istimewa. Jabatan direktur pemeriksaan pajak termasuk posisi senior, bukan tempat promosi. Apalagi promosi dari badan di luar Ditjen Pajak seperti BPKP.

Selepas menjabat Direktur Pemeriksaan, Dadang dipercaya sebagai Direktur Keberatan dan Banding pada era Sigit Pramudito sebagai Dirjen Pajak. Kemudian geser menjadi Direktur Penegakan Hukum Ditjen Pajak pada era Ken Dwijugiasteadi. Ketiga posisi tersebut sangat strategis.

Mengapa Dadang begitu moncer? Ini tidak lepas dari jaringannya yang luas. Dadang mengaku mempunyai koneksi yang kuat di kalangan penegakan hukum. Banyak jenderal di Kepolisian dan Jaksa senior di Kejaksaan Agung yang dia kenal baik. Di KPK? Jangan ditanya. Separuh pegawai BPKP yang ditugaskan atau pindah tugas ke KPK adalah sohib atau anak buahnya.

Ingin tau berapa harga Dadang Suwarna? Berdasarkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) yang dikirim ke KPK, Dadang memiliki harta Rp32,7 miliar plus USD75.000 (2015) naik dibanding posisi 2013 sebesar Rp29 miliar plus USD27.100. Itu adalah angka yang dia laporkan. Yang sesungguhnya, jauh-jauh lebih besar.

Umumnya, kenaikan harta pejabat karena kenaikan asset tetap khususnya tanah dan bangunan, seiring dengan kenaikan NJOP. Namun anehnya, Dadang melaporkan harta asset tetap antara tahun 2015 dan 2013 pada angka yang sama. Dia mencantumkan harta berupa tanah dan bangunan seluas 650 M2 dan 350 M2 perolehan tahun 1993 di Kota Bekasi “hanya” seharga Rp256 juta. Padahal, nilai saat ini, Rp 5 miliar atau lebih.

Sebagai contoh, sebuah rumah di Kemang Pratama Regency dengan luas yang hampir sama, yakni LT/LB 600/400 M2, di situs internet olx.co.id ditawarkan dengan harga Rp6,2 miliar. Bagaimana mungkin, Dadang hanya menuliskan Rp 256 juta? Alhasil, hampir pasti, LHKPN yang dia sampaikan jauh di bawah harga pasaran. Nilai harta yang dilaporkan, sesungguhnya bisa mencapai 20 kali lipat lebih besar.

Mari kita telusuri harga Dadang yang lain. Tercatat ada 38 persil tanah dan bangunan—semuanya di Bekasi, Bogor, Sukabumi dan Bandung—Dadang melaporkan dalam LHKPN senilai Rp19 miliar, belum termasuk perkebunan sengon senilai Rp1,56 miliar tanpa menyebut luasan kebun tersebut. Padahal, untuk keseluruhan asset tetap tersebut nilai wajarnya tidak kurang dari Rp400 miliar, dan Dadang hanya mencantumkan sekitar 10 persennya saja dari nilai yang seharusnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline