Lihat ke Halaman Asli

Ada "Izrail" di Atas KPK

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Izrail adalah malaikat maut. Jika lebih suka memakai istilah lain, baiklah saya tuliskan sejumlah nama menyeramkan, yang selalu diidentikkan dengan pencabutan nyawa: Gream Reaper, Anubis, Hermes, Thanatos, Charun/Charon, Mercury, Valkyrie, atau Yamadipati dalam dunia pewayangan.

Karena dalam judul kata "Izrail" diberi tanda baca "kutip", maka bisa diartikan bahwa "Izrail" adalah simbol. Jika itu simbol kematian, bisa dimaknai bahwa saat ini "nyawa" KPK sedang dalam perdebatan "yang maha kuasa" di jagat kekuasaan Indonesia. Ibarat mendengar tokekan suara tokek... ibarat menghitung-urut kancing baju... ibarat berharap-cemas, maka sejatinya, KPK per hari ini, dalam keadaan di persilangan jalan... Jalan kehidupan di satu sisi, dan jalan kematian di sisi yang lain.

Ia terlahir menjadi produk negeri, bukan hasil perselingkuhan. KPK lahir resmi dengan "akta lahir" berupa UU Nomor 30 tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Toh, sebagian elite politik masih menyoal eksistensinya sebagai produk "nikah siri". Mengapa? Produk konstitusi tentang aparat penegak hukum hanya kejaksaan dan kepolisian. Merekalah yang tercantum dalam akta utama Republik Indonesia yang bernama UUD 1945.

Akan tetapi, dengan excuse, bahwa tindak pidana korupsi sudah demikian akut, negara ini merasa perlu melahirkan sebuah "anak" sakti bernama KPK. Maka, atas nama pemberantasan korupsi itulah dia dilahirkan. Dalam operasionalnya, ia memiliki kewenangan yang rrruuuaaarrr biasa.... (silakan googling tentang UU No 30 tahun 2002 supaya Anda lebih tercengang.....).

Nah, dalam kiprahnya, bocah sakti bernama KPK ini memang menunjukkan kiprah yang luar biasa. Ibarat jabang-bayi Gatotkaca yang harus dilebur di kawah Candradimuka sehingga bisa menjadi senopati-nya para dewa, maka KPK pun begitu. Ia lantas saja menjadi harapan pemerintah dan rakyat yang sudah muak dengan praktik korupsi akut di negeri ini, untuk melanjutkan kiprahnya melabrak durjana-durjana negara.

Satu per satu gubernur, anggota dewan, bahkan menteri dan pejabat negara pun dicokok. Sejumlah nama seperti Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Ratut Atut, dan sejumlah gubernur lain pun jadi pesakitan. Menteri Bachtiar Chamsyah, Andi Mallarangeng, Suryadharma Ali, Jero Wacik dan sejumlah nama lain pun masuk kerangkeng KPK. Anggota dewan Paskah Suzzetta, Panda Nababan, Dudie Makmun Murod, Misbakhum, dan masih banyak yang lain, juga terkena bidikan KPK.

Nama-nama di atas, umumnya sudah meringkuk di hotel prodeo. Sudah divonis. Akan tetapi, masih sangat banyak nama tersangka lain yang hingga sekarang masih terkatung-katung. Tak segera ditindaklanjuti dan penyelidikan ke penyidikan. Dari penyidikan ke penuntutan. Mereka terkatung-katung menjadi warga negara yang terlanggar hak-hak asasinya gara-gara sudah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi terkesan "didiamkan".

Sebut saja dua nama besar, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dan mantan Ketua BPK Hadi Poernomo. Menteri Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana haji tahun 2012-2013. Sejak penetapan dan awal-awal penetapan, KPK sudah ancang-ancang untuk juga mencokok pejabat Kementerian Agama lain, dengan sandaran logika, bahwa Suryadharma Ali tidak korupsi sendiri.

Kemudian nama besar Hadi Poernomo, seorang mantan Dirjen Pajak, kemudian Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Dia ditetapkan tersangka, pas tanggal 21 April 2014. Pas pula dengan hari ulang tahunnya. Pas pula dengan hari dia mengakhiri jabatannya sebagai Ketua BPK. Ia disangka terlibat kasus korupsi perpajakan yang ditengarai terjadi kurang lebih 10 tahun lalu. Kini, sudah 10 bulan lebih, statusnya masih juga terkatung-katung.

KPK pada satu sudut dipandang sebagai "hero", di sudut yang lain, tak lebih dari seekor "cicak". Ia seolah menjadi pahlawan karena keberaniannya menetapkan nama-nama besar, elite-elite negeri sebagai tersangka korupsi.

Di sisi lain, dari kacamata para elite, KPK tak lebih dari seekor "cicak", karena kenyataannya, dalam praktik penanganan korupsi yang diduga melibatkan petinggi negeri, ternyata tidak segaga-berani yang dibayangkan masyarakat. Kasus BLBI dan Kasus Century hingga kini masih membeku di locker KPK. Bukan hanya itu, kasus Hambalang, dan sejumlah kasus raksasa lain tak diutak-atik, meski sudah menelan waktu bertahun-tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline