Lihat ke Halaman Asli

Refondi Ramadha

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Brawijaya

Cerita Fabel: Diari Rubah

Diperbarui: 7 Januari 2021   21:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Joseph Yu from Pexels

Devap, Seorang gadis rubah yang memiliki tinggi tubuh yang nyaris melebihi aku. Hanya saja seperti wanita idealis pada umumnya, dia memiliki tubuh yang terbilang kecil.

Bahkan nyaris lidahku terpeleset menjulukinya jerangkong hidup saat mulai pertama mengenalnya. Tapi karena aku masih sangat sayang dengan nyawaku. Maka kubungkam saja ucapan itu.

Pertemuan pertama kami tidak begitu spesial. Mengingat pada saat itu aku dikenal sebagai Rubah Penyendiri yang sibuk karena pekerjaan menulis, jadinya aku sulit untuk bergaul dengan seorang gadis.

Kurasa itu adalah ketakutanku yang paling buruk, karena aku selalu memiliki perasaaan canggung dalam bertemu wanita.

Entah itu tidak sengaja memegang tangan, berkenalan karena satu kelompok kerja atau mungkin ada kejadian tabrakan ala drama romantis di televisi. Itu adalah harapan indahku jika nanti bertemu dengan seorang wanita. Tapi naytanya itu tidak berlaku untuk pertemuanku dengan Devap.

Wanita bengis itu dengan raut muka yang datar tiba-tiba merangsek masuk ke dalam lobby toilet pria. Aku yang pada waktu bersamaan juga ingin buang hajat, dengan terpaksa berebut gagang pintu. Terjadilah perdebatan yang begitu sengit diantara kami.

Hingga kemudian segelintir air keluar memenuhi pipinya. Bibirnya kemudian sedikit melakukan pergerakan yang membuatku canggung.

"Apakah dia akan mengutukku?" batinku yang mulai mendapat gambaran buruk.

Kurasa lebih baik aku harus membuat keputusan untuk menyelamatkan nyawaku.

"Baiklah, nona silahkan kamu dulu saja yang masuk" Naluri priaku sudah tidak tahan dengan kemungkinan buruk yang terjadi, apalagi melihat wanita yang berlumur air mata seperti itu pasti dia sudah menyiapkan rapalan kutukan paling buruk.

Bukannya malah masuk, tiba-tiba tangannya merentang meraih badanku dan kemudian didekatlah badanya padaku. Berpelukan,

"Maaf, maaafkan aku..." aku merasa sangat kebingungan.

Kenapa dia sampai meminta maaf. Apakah dia juga sakit perut? dan terlambat mengeluarkan itu. Sehingga ada kemungkinan diriku bisa menjadi korban perdana gas beracunnya.

"..aku tidak begitu mengerti nona, tapi aku tidak akan bilang ini ke siapapun" yap, begitulah langkah bagus untuk menyelematkan nyawaku.

Karena aku membaca sebuah buku tentang wanita, pantang bagi untuk membeberkan aib seorang wanita jika masih sayang nyawa. Apalagi dalam masalah mencret, itu adalah kenangan tabu yang tidak ingin diingat siapapun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline